
Penampilan eksotika bromo 2025 di lautan pasir (foto: Najib/Papar)
JURNAL PAPAR, Probolinggo - Di Bromo, Juni datang lebih cepat dari biasanya. Dingin menggigit, bahkan sebelum kalender sempat membalik ke pertengahan bulan. Lautan pasir, seperti punya jadwal sendiri: kembali jadi panggung terbuka. Tapi tahun ini, bukan sekadar panggung. Ia berubah jadi ruang perenungan.
Eksotika Bromo 2025. Judulnya mungkin terdengar biasa. Tapi coba dengarkan napasnya. Tema “Ruwat Rawat Segoro Gunung” itu tidak datang dari rapat-rapat tegang di ruang ber-AC. Ia lahir dari kegelisahan. Dari keresahan tentang gunung yang perlahan kelelahan, tentang laut yang mulai jengah menerima sampah, dan manusia yang masih saja sibuk dengan diri sendiri.
“Ini bentuk bakti. Kita ruwat yang negatif, kita rawat yang masih ada,” kata Heri Lentho, pembina Komunitas Jatiswara Indonesia, sambil menyapu pandang ke pasir Bromo yang maha luas itu. Ia bukan sedang ceramah. Kalimatnya lebih mirip bisikan. Seperti berbicara langsung pada gunung yang sedang menyimak.
Maka setiap peserta datang tak hanya bawa selendang tari atau alat musik. Tapi juga pohon. Satu orang, satu pohon. Tak ada seremoni besar. Tak ada pidato panjang. Yang ada hanya gerakan kecil, tangan-tangan yang menanam. Dan doa yang tak bersuara. Mungkin inilah cara paling hening mencintai bumi.
Sejak 2017, Eksotika Bromo tumbuh pelan. Dari acara budaya pelengkap Yadnya Kasada, hingga kini jadi ritual batin. Sejak 2022, lautan pasir bukan lagi hanya latar. Ia jadi tokoh utama. Jadi panggung yang bicara tanpa kata.
Lihatlah para penari itu. Gerak tubuhnya bukan sekadar koreografi. Ada pesan yang dititipkan lewat ayunan lengan dan hentakan kaki. Tari bukan lagi tontonan. Ia jadi bentuk lain dari doa. Dari harapan.
Bromo, sejak dulu, sabar. Ia mengizinkan manusia menari di punggungnya, bernyanyi di lerengnya, dan menanam di perutnya. Tapi mungkin, tahun ini, ia mulai bertanya: apakah manusia benar-benar belajar?
Saat kabut turun perlahan sore itu, ia seolah menutup buku cerita. Tapi bukan dengan titik. Melainkan koma. Karena cerita belum selesai. Karena pohon-pohon itu baru tumbuh. Karena kesadaran baru saja ditanam.
Dan karena menjaga alam, seperti kata Heri, “tidak perlu proyek besar. Cukup satu pohon. Cukup satu niat.”
Berita Terkait

Paparan Khusus
Eksotika Bromo 2025 (SERI 4): Ketika Joko Seger dan Roro Anteng Menari di Panggung Bromo

Paparan Khusus
Eksotika Bromo 2025 (Seri 3): Tempat Sujud Manusia Gunung yang Jadi Panggung Olivia Zalianti
Tag
Arsip
Berita Populer & Terbaru








































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































Polling Online
Tidak ada polling tersedia.