
JURNAL PAPAR, Probolinggo – Di antara kabut tipis lereng Bromo dan denting gamelan yang riuh mengisi panggung Eksotika Bromo 2025, satu penampilan datang tanpa gemerlap. Tidak ada kemegahan tari kolosal, tak pula gemuruh musik modern. Yang hadir hanyalah suara lirih dari timur jauh Banyuwangi—suara yang nyaris padam: Burdah Gembrung.
Komunitas seni Damar Art, paguyuban warga dari Dusun Curah Pacul, Desa Tambakrejo, Kecamatan Muncar, membawa dua karya: Wanci Kahuripan dan Gembrung Gemirang. Keduanya merupakan penggabungan tari Gandrung, musik, dan lantunan solawatan khas suku Osing.
“Orang banyak yang belum tahu, kalau di Banyuwangi itu ada kesenian namanya gemblung atau burdah,” ujar Dimas Imam, komposer muda sekaligus peracik aransemen musik mereka. “Itu semacam solawatan, tapi dibawakan pakai logat dan nuansa Osing. Liriknya, iramanya, semua khas.”
Alat musik tradisional yang biasanya hanya terbuat dari kayu, kini ia padukan dengan perangkat modern. Namun, bukan untuk mengubah tradisi, melainkan untuk menyelamatkannya. “Biar bisa dinikmati lebih luas, tapi tetap punya jiwa,” ujarnya tegas.
Dalam setahun, Burdah Gembrung hanya ditampilkan satu atau dua kali, itupun dalam lingkup kecil dan tertutup. Maka tampil di ajang sekelas Eksotika Bromo menjadi sebuah lompatan penting. “Ini bukan sekadar tampil. Ini bentuk keberanian untuk menyuarakan yang nyaris punah,” lanjut Dimas.
Komunitas Damar Art bukan sanggar resmi. Mereka adalah warga yang berkumpul karena cinta pada seni dan pendidikan anak. Dengan lebih dari 300 anggota—dari anak TK hingga orang tua—mereka belajar bersama: tari tradisional, modern, musik, hingga teater. Semua dijalankan dengan semangat gotong royong.
“Dari alat, kostum, transportasi, semuanya hasil patungan. Para wali murid juga ikut urunan. Komunitas ini berdiri karena kekompakan,” kata salah satu pendamping rombongan.
Meski baru pertama tampil di Eksotika Bromo, kehadiran Damar Art justru memberikan warna baru. Bukan karena kemegahan, melainkan karena kejujuran dan tekad. Mereka tidak sekadar tampil, mereka mengabarkan: bahwa di kampung-kampung jauh, masih ada suara-suara kecil yang berusaha tetap hidup.
Dan mungkin, itulah makna paling jujur dari sebuah festival budaya—bukan soal panggung megah atau sorotan lampu, tapi tentang keberanian menjaga warisan, sebelum benar-benar hilang ditelan zaman.
Tag
Berita Terkait

Seri Eksotika Bromo (11): Sorak Tor Se Asat, Ketika Laut dan Gunung Bertemu di Panggung Bromo

Seri Eksotika Bromo (10): Jejak Tradisi di Lautan Pasir, Tarian Ksatria dari Sidoarjo

Eksotika Bromo 2025 (Seri 7): Kolaborasi Seniman dan Masyarakat Tengger, Jadi Magnet Wisata Luar Biasa

Eksotika Bromo (Seri 6): Surga Fotografi, Keindahan di Pinggiran Jalan Menuju Mentigen Hill

Eksotika Bromo 2025 (SERI 4): Ketika Joko Seger dan Roro Anteng Menari di Panggung Bromo

Eksotika Bromo 2025 (Seri 3): Tempat Sujud Manusia Gunung yang Jadi Panggung Olivia Zalianti
Tag
Arsip
Berita Populer & Terbaru










































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































Polling Online
Tidak ada polling tersedia.