Sandur, Tradisi Petani Tuban Kembali Dipentaskan di Tengah Kerumunan Kota, Ini Daya Tariknya

20 July, 2025

JURNAL PAPAR, Tuban – Sabtu malam 19 Juli 2025, ratusan warga memadati Lapangan Kodok Bende, Desa Prunggahan Kulon, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban. Gelar Seni Budaya Malam Purnama Tuban 2025 menjadi alasan utama berkumpulnya warga malam itu. Di antara panggung, obor, dan suara gamelan, perhatian publik tertuju pada satu penampilan utama,Sandur Ronggo Budoyo.

Pertunjukan kesenian rakyat ini sudah lama tidak ditampilkan di ruang publik. Namun malam itu, Sandur bukan hanya ditampilkan, melainkan ditonton, didokumentasikan, dan dinikmati lintas usia. Banyak penonton datang karena rasa penasaran. Beberapa lainnya memang telah mengenal Sandur sejak kecil, tapi mengaku jarang melihatnya dipentaskan secara lengkap. ***

Salah satunya Yoga, warga Kecamatan Montong. Ia mengaku datang jauh-jauh hanya untuk melihat langsung pertunjukan Sandur. “Udah lama tau, tapi ini baru pertama nonton,” ujarnya. Komentarnya mencerminkan kehausan akan pertunjukan lokal yang mulai hilang dari keseharian masyarakat.

Sandur adalah seni pertunjukan tradisional khas Tuban yang berbasis pada kehidupan masyarakat petani. Pertunjukan ini biasanya menampilkan cerita tentang keseharian petani, dari kehidupan pribadi hingga panen. Namun, Sandur tidak ditampilkan dalam bentuk teater konvensional. Ia hadir dalam bentuk tari, tembang, ritus, dan simbol yang dibawakan oleh para pemainnya.

Ketua kelompok Sandur Ronggo Budoyo, Sakrun, menjelaskan bahwa cerita dalam Sandur disampaikan melalui gerakan tubuh dan lirik tembang yang dinyanyikan sepanjang pertunjukan. "Sandur memang dulu menceritakan kehidupan para petani," ucapnya. Tema kehidupan petani menjadi identitas utama kesenian ini, sekaligus nilai warisan yang terus dijaga.

Penari dalam Sandur biasanya adalah anak-anak laki-laki yang belum dikhitan. Mereka memerankan tokoh-tokoh seperti Balong, Pethak, Cawik, dan Tangsil. Selain itu, ada pula satu penari perempuan. Peran mereka tidak hanya menari, tetapi juga membawa unsur ritus yang menjadi ciri khas Sandur. “Penarinya itu anak-anak, yang belum khitan, biasanya perempuan satu,” kata Sakrun.

Dalam pentas tersebut, beberapa anggota menjadi penabuh musik tradisional (panjak gong), ada juga yang menjadi panjak sorak, yakni tim penyanyi dan penyorak yang menambah suasana ramai dan dinamis selama pertunjukan. Musik pengiring menggunakan kendang sebagai alat utama, serta gong bumbung sebagai pelengkap. Tembang yang dinyanyikan memakai bahasa Jawa, baik ngoko maupun krama, dengan irama parikan atau dandanggulo. Lirik tembang biasanya berisi pujian, petuah, atau doa. Sorakan khas atau “senggakan” menjadi penanda antar bagian dan turut membentuk struktur ritmis pertunjukan.

Tak hanya unsur musik dan tari, Sandur juga menghadirkan seorang pawang yang berperan penting dalam prosesi ritual. Pawang ini merapal mantra, mengatur jalannya ritus, dan menghubungkan pertunjukan dengan dimensi spiritual. Ritual biasanya dilakukan di awal dan puncak pertunjukan, terutama saat proses kalongking, yaitu ketika penari memasuki kondisi kesurupan.

Saat kalongking, penari akan naik ke atas batang bambu yang telah disiapkan di sisi panggung. Di bagian atas terdapat lepet, ketupat, dan jajanan tradisional yang digantung dengan tali. Penari akan memanjat, mengambil jajanan itu, lalu melemparkannya ke arah penonton. Aksi ini bukan sekadar hiburan, tapi memiliki makna simbolis. “Nanti manjat itu ya menggambarkan manusia kalau sudah di atas tidak ada lagi yang bisa dikejar, dan harus kembali turun ke bawah (membumi) agar bisa hidup sebagai manusia,” terang Sakrun.

Panggung Sandur tidak mewah. Bentuknya segi empat, dibatasi dengan tali, dan diberi obor di setiap sudut sebagai penerang sekaligus elemen ritual. Pertunjukan biasanya dilakukan di tanah terbuka pada malam hari. Unsur-unsur seperti dupa, kemenyan, jerami, kembang boreh, dan kembang setaman selalu disiapkan oleh tim pawang. Semua itu menjadi bagian dari upacara yang mengiringi pertunjukan sejak awal hingga selesai. "Itu ritual memang ada, karena ini budaya leluhur," kata sakrun.

Busana penari juga tidak berlebihan. Mereka mengenakan jarik, celana, serta beberapa pernak-pernik tari, seperti kacamata hitam. Gerakan tarinya berulang dalam pola maju dan mundur, serta memutar searah jarum jam. Irama dan gerakan itu tidak hanya menciptakan pertunjukan, tapi juga menjelaskan filosofi Sandur secara visual.

Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata (Disbudporapar) Tuban, Moh Emawan Putra, mengatakan bahwa pertunjukan ini merupakan bagian dari program pelestarian budaya lokal. “Kita berusaha agar kesenian Sandur supaya lestari,” ujarnya.

Gelar Seni Budaya Malam Purnama Tuban 2025 tidak hanya menampilkan Sandur. Ada juga pertunjukan lain seperti Janggrung dan teaterikal Padang Bulan. Namun, Sandur menjadi sorotan utama karena daya tariknya yang kuat sebagai warisan budaya Tuban yang mulai langka.

"Sandur sendiri saat ini sudah terdaftar Warisan Budaya Tak Benda dari Tuban, dan memang otentik dari kota Tuban," jelas Moh Emawan Putra, kepala Disbudporapar Tuban.

Menurut Sakrun, Sandur juga merupakan bentuk penghormatan terhadap makhluk tak kasat mata yang diyakini hadir selama pertunjukan. “Itu menghormati bidadari,” katanya.

Disbudporapar sendiri menyebutkan bahwa kegiatan ini akan terus digelar rutin sebagai bagian dari program revitalisasi budaya.Harapannya, generasi muda tidak hanya mengenal kesenian lokal melalui cerita, tapi juga menyaksikannya secara langsung.