Karangsari Bukan Karangsampah - Seri 4

06 July, 2025

Jurnal Papar, Tuban - Senyum saya semringah ketika melihat dua anak yang sedang asyik bermain itu. Namun, saya rasa tidak semua warga tidak semringah dengan kenyataan bahwa mereka sudah sulit mendapatkan ikan. "Kakak saya saja beralih, ikan lagi sulit."  Ujar Dwi. 

Isu ini sudah lama digaungkan, namun selalu saja tenggelam. Sadar, laut sekarang punya spesies parasit baru, namanya sampah.  Anda pasti sudah jengah melihat berita soal biota laut yang terdampak sampah plastik di tubuhnya. Atau bahkan badan cumi-cumi yang ada plastik ? - jika Anda mengangguk, coba belajar lagi.

Spesies baru ini dilahirkan oleh manusia. Dahulu memang tidak terasa. Sekarang, semakin terasa. Di Laut tidak hanya larung sesaji, tapi juga larung sampah. Namun, laut mengembalikannya kepada kita. Ya, sampahnya terdampar di pinggir pantai. Penyelesaian masalah sampah di laut ini harus menjadi gotong royong orang satu dunia, bukan hanya satu dua orang saja. Pembersihan sampah di bibir pantai merupakan tanggung jawab individu yang juga bisa juga difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten. 

Sebagai kota pesisir, sudah saatnya Kabupaten Tuban lebih serius soal Sampah. Lebih tegas. 

Perahu yang terbelah dua itu menjadi yang pertama saya lihat seumur hidup saya. Saya rasa ini adalah instalasi seni tingkat tinggi yang dihadiahkan Tuhan lewat laut kepada warga Karangsari. Anda boleh berpikir mereka jorok. Namun saya berani jamin, tidak.

Anda baca ini baik-baik :

Mereka korban framing isu karena rumah mereka yang hanya kurang dari 100 meter dari laut. Kambing hitam yang empuk. Mereka membuat tanggul untuk mengamankan diri.

Tanggul yang sengaja dipasang di sepanjang kali samping TPI yang telah mati itu hingga belakang rumah warga.  Warga bergotong royong membuat tanggul itu supaya mereka tetap bisa tinggal di desa leluhur mereka. Tanggul itu terbuat dari botol plastik yang diisi oleh sampah dan disusun menjadi tanggul yang direkatkan dengan semen dan bata.

Sebagai bentuk gotong royong warga, Dwi menuturkan bahwa mereka bersyukur adanya tanggul itu membantu menunda erosi tanah yang terjadi. Sambil menunjuk toilet, pemuda 30 tahun itu menuturkan bahwa jika toilet itu sudah miring. Tanpa tanggul, ia akan hanyut dan hancur.Entah sampai kapan tanggul ini mampu bertahan.

Warga memanfaatkan apa yang ada untuk tetap menjaga rumah mereka berdiri kokoh. Mereka berhasil membuat sampah menjadi manfaat. Insting bertahan warga Karangsari luar biasa. Dikirim sampah oleh laut, dibuat jadi hal yang berharga. 

Bukan hanya terbuat dari sampah, ada juga tonggak kayu hingga tabung semen yang dipasang sejajar. Semua dilakukan dengan sadar. Hanya demi satu tujuan : bertahan.

Seharusnya kita malu dengan kondisi ini. Bukan malah mengerdilkan. Terlepas dari karakter serta kultur masyarakat, sampah menjadi tanggung jawab individu. (Bersambung)