Tradisi Tak Lekang Zaman: Wayang Kulit Hidupkan Malam di Tuban

26 June, 2025
JURNAL PAPAR, Tuban – Suasana malam di Desa Gedongombo, Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban, berubah menjadi lautan manusia. Ribuan warga dari berbagai kalangan berkumpul di sekitar kompleks Makam Syeh Maulana Iskhak Ibrahim Al Maghribi untuk menyaksikan Pagelaran Wayang Kulit Semalam Suntuk, sebuah tradisi tahunan dalam rangka sedekah bumi yang begitu dinanti-nantikan.

Dari anak-anak berusia enam tahun hingga warga lanjut usia, semuanya larut dalam suasana sakral dan meriah. Sejak siang hari, masyarakat telah memadati area sekitar makam, membawa bekal, tikar, dan semangat kebersamaan yang hangat. Sebuah pemandangan yang semakin langka di tengah gempuran budaya modern.

Pagelaran budaya ini dibawakan oleh Ki Susiyanto, dalang kawakan asal Kecamatan Rengel, yang tampil penuh energi dan kharisma. Ia membawakan dua lakon dalam dua sesi pertunjukan. Siang harinya, kisah Banjaran Parikesit membuka rangkaian cerita pewayangan dengan sarat nilai moral dan kepahlawanan. Malam harinya, setelah hiburan electone yang sempat menghibur penonton dengan tembang-tembang populer, dilanjutkan dengan lakon Sri Sadana, cerita yang sarat dengan simbol kesejahteraan dan kelimpahan.

“Setiap tahun pasti diadakan, berbarengan dengan sedekah bumi,” ujar Sukari, salah satu warga yang mengaku tak pernah absen menyaksikan pertunjukan ini. Menurutnya, acara ini bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga bentuk rasa syukur dan pengingat terhadap leluhur serta nilai-nilai kebersamaan.

Yang lebih menarik, seluruh biaya penyelenggaraan acara ini murni berasal dari swadaya masyarakat. Iuran per RT menjadi sumber utama pembiayaan, sementara donasi sukarela datang sebagai pelengkap. “Uangnya berasal dari iuran per RT. Kalau kurang, pasti ada donasi. Uniknya, pasti cukup. Entah dari mana rezekinya datang,” lanjut Sukari sambil tersenyum.

Pagelaran ini bukan hanya simbol pelestarian budaya, tapi juga menjadi wadah silaturahmi warga lintas generasi. Di tengah modernisasi dan digitalisasi, warga Gedongombo membuktikan bahwa tradisi tetap bisa hidup berdampingan, bahkan menjadi pemersatu masyarakat.

Wayang kulit semalam suntuk di Gedongombo bukan sekadar tontonan. Ia adalah denyut kehidupan desa yang terus berdetak, menghidupkan memori leluhur, dan menyalakan harapan bahwa budaya lokal akan terus mendapat tempat terhormat di hati masyarakat.