JURNAL PAPAR, SURABAYA — Di balik gemerlap panggung Urban Youth 2025 yang akan digelar Jumat, 20 Juni 2025 di Gedung Cak Durasim, Surabaya, tersimpan kisah tentang semangat kolaborasi dan perjuangan menyatukan waktu, gagasan, dan rasa. Sebanyak 67 seniman—penari, pemusik, dan aktor telah menghabiskan dua bulan penuh dalam proses kreatif yang menantang namun menginspirasi.
Bukan soal naskah, bukan pula soal ide. Kendala utama justru datang dari hal yang paling manusiawi: waktu. Menyatukan puluhan kepala dengan jadwal yang berbeda-beda menjadi rintangan tersendiri. Namun semangat yang sama membuat semua itu terlewati.
“Kita selalu menemukan halangan yang tidak bisa diprediksi. Tapi begitulah seni, selalu mencari cara untuk tetap hidup,” ujar Joko Porong, kurator pertunjukan. Ia menekankan bahwa pertunjukan ini bukan hanya soal bentuk seni, melainkan tentang bagaimana perbedaan bisa dipadukan. “Modern dan tradisi itu bukan lawan. Mereka hanya dua sisi dari rasa yang sama,” tambahnya.
Sutradara Dimas Respati membawa pendekatan unik dengan mengadaptasi kisah Gayatri, tokoh perempuan berpengaruh dari masa lampau, dan menerjemahkannya ke dalam narasi masa kini. “Visualisasi jadi jembatan agar pesan bisa ditangkap semua generasi. Kami ingin masa lalu tidak terasa kuno, tapi relevan,” katanya.
Dalam proses kreatif ini, musik memainkan peran penting. Komposer Karvian Vega Alvian menyusun komposisi yang memadukan bunyi-bunyi tradisi dengan elemen modern. “Bahasa musik kami gunakan untuk memperkuat adegan, membangun suasana, dan mengikat emosi penonton. Ada 25 pemusik yang terlibat,” jelasnya.
Tak hanya suguhan artistik, Urban Youth 2025 menjadi ruang belajar bersama tentang kerja kolektif dan menghargai proses. Di tengah dinamika zaman, pertunjukan ini menjadi napas baru bagi panggung-panggung seni di Surabaya—bahwa kolaborasi, bukan kompetisi, adalah kunci utama menciptakan karya bermakna.
Tag
Berita Populer & Terbaru
Polling Online
Tidak ada polling tersedia.
Komentar