
JURNAL PAPAR, Probolinggo - Di kawasan Bromo yang dinginnya menusuk tulang, ada semacam kehangatan lain yang muncul. Bukan dari api unggun, tapi dari pertemuan antar manusia. Pertemuan itu terjadi lewat seni, lewat gerak, suara, dan cerita yang dibawa para seniman ke tengah-tengah masyarakat Tengger dalam acara Eksotika Bromo 2025.
Acara ini bukan sembarang pertunjukan. Tapi merupakan hasil kerja sama antara komunitas seni Jatiswara dengan Pemerintah Kabupaten Probolinggo. Tujuannya tidak hanya menghadirkan tontonan budaya, tapi juga membuka ruang hidup baru bagi seniman, masyarakat, dan wisatawan untuk saling mengenal dan berinteraksi.
“Jadi event seperti ini kan juga memanfaatkan aset-aset yang bisa dikembangkan untuk promosi pariwisata,” kata Kepala Bidang Ekonomi Kreatif Disporapar Kabupaten Probolinggo, Dian Cahyo Prabowo.
Menurut Dian, setiap kali Eksotika Bromo digelar, jumlah wisatawan meningkat signifikan, bahkan di luar hari-hari ramai seperti akhir pekan. Ada dorongan baru yang muncul, di mana seni bukan hanya sebatas tontonan, tapi juga mendorong pergerakan ekonomi dan kunjungan wisata
Tapi yang membuat acara ini terasa berbeda bukan cuma soal angka kunjungan. Yang paling terasa adalah cara para seniman tinggal dan hidup bersama warga. Mereka tidak menginap di hotel atau penginapan khusus, melainkan menyatu dalam kehidupan warga lewat homestay.
“Dengan tinggal di homestay, para talent bisa lebih mengenal kehidupan masyarakat Tengger. Ada interaksi di sana,” tambah Dian.
Dari sinilah Eksotika Bromo menjadi lebih dari sekadar event. Ia jadi pengalaman. Para seniman yang datang dari berbagai kota tak cuma tampilkan karya, tapi juga belajar cara hidup masyarakat Tengger, tentang bagaimana mereka memaknai gunung, tentang bagaimana mereka menjaga keseharian yang sarat tradisi.
Warga pun menyambut. Tidak sedikit yang merasa bangga karena rumah mereka menjadi tempat tinggal seniman. Warung-warung lokal pun ikut merasakan dampaknya. Ada perputaran kecil yang terasa, dari penginapan hingga ke makanan dan jasa transportasi. Semua bergerak bersama
Dalam konteks ini, seni bukan sekadar pertunjukan yang selesai ketika lampu padam. Ia hadir sebagai jembatan, menghubungkan kota dan desa, panggung dan rumah, pelaku seni dan masyarakat.
Dan di tengah hamparan pasir serta kabut Bromo, acara ini menjadi bukti bahwa ketika seni diberi ruang untuk tumbuh bersama masyarakat, yang lahir bukan cuma tontonan, tapi pengalaman yang menyentuh banyak sisi kehidupan. ***
Berita Terkait

Eksotika Bromo (Seri 6): Surga Fotografi, Keindahan di Pinggiran Jalan Menuju Mentigen Hill

Eksotika Bromo 2025 (SERI 4): Ketika Joko Seger dan Roro Anteng Menari di Panggung Bromo

Eksotika Bromo 2025 (Seri 3): Tempat Sujud Manusia Gunung yang Jadi Panggung Olivia Zalianti
Tag
Arsip
Berita Populer & Terbaru


































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































Polling Online
Tidak ada polling tersedia.