
JURNAL PAPAR, SURABAYA — Di tengah semaraknya kampanye keluarga berencana, kontrasepsi untuk pria nyaris tak terdengar gaungnya. Padahal, metode seperti vasektomi menawarkan efektivitas tinggi dengan risiko rendah. Sayangnya, keterbatasan edukasi dan lemahnya dukungan kebijakan membuat metode ini terpinggirkan.
“Program KB kita masih sangat perempuan-sentris. Alat kontrasepsi untuk pria, terutama vasektomi, belum masuk arus utama dalam layanan primer,” ungkap dr. Achmad Anies Shahab, Sp.U, Dokter Spesialis Urologi RS Premier Surabaya, Jumat (30/5).
Berdasarkan data nasional tahun 2024, hanya 0,13 persen pria di Indonesia yang menjalani vasektomi. Sementara kontrasepsi untuk perempuan seperti pil KB, suntik, atau implan masih mendominasi dengan selisih angka yang sangat lebar.
Menurut dr. Anies, salah satu hambatan terbesar adalah minimnya informasi yang disampaikan pada masyarakat, terutama kaum pria. “Sosialisasi kontrasepsi laki-laki masih setengah hati. Bahkan petugas kesehatan di lini depan pun jarang menawarkan vasektomi sebagai pilihan,” katanya.
Vasektomi sendiri merupakan prosedur bedah ringan yang memotong dan menutup saluran sperma. Prosedur ini hanya memerlukan waktu sekitar 30 menit, tanpa rawat inap, dan tidak berdampak pada fungsi seksual pria.
Namun, tanpa pendekatan edukatif yang sistematis, banyak pria tetap enggan menjalaninya. “Di balik rendahnya angka vasektomi bukan cuma soal budaya patriarki, tapi juga karena tak ada program pemerintah yang serius mengangkat metode ini ke permukaan,” tambahnya.
Ia menilai, selama edukasi hanya difokuskan pada perempuan, ketimpangan akan terus terjadi. “Mengapa yang dicekoki soal KB selalu ibu-ibu di posyandu? Mana edukasi untuk suami atau calon ayah?” kritik dr. Anies.
Pakar kesehatan masyarakat pun sepakat bahwa pelibatan laki-laki dalam program KB harus diperkuat. “Kita butuh pendekatan berbasis komunitas dan dukungan kebijakan yang tegas. Misalnya, insentif kesehatan bagi pria yang memilih vasektomi, atau kampanye publik melalui figur-figur laki-laki berpengaruh,” jelasnya.
Di tengah ancaman ledakan penduduk dan angka kehamilan tak direncanakan, metode vasektomi seharusnya tak lagi jadi pilihan yang tabu. Lebih dari sekadar persoalan medis, ini adalah isu keadilan dan kesetaraan dalam pengambilan keputusan keluarga.
“Kontrasepsi itu bukan beban perempuan semata. Kalau negara ingin pengendalian populasi yang efektif, edukasi harus menyasar kedua belah pihak secara adil,” tutup dr. Anies.
Tag
Berita Terkait
Tag
Arsip
Berita Populer & Terbaru


















































































































































































































































































































































































Polling Online
Tidak ada polling tersedia.