
Suasana halaman kantin Gedung Cak Durasim Surabaya pagi
JURNAL PAPAR, Probolinggo –
Saya tak pernah ke Bromo. Sampai akhirnya, kaki ini benar-benar menginjaknya.
Ternyata benar kata orang: ada yang lebih sunyi dari kabut gunung yaitu langkah pertama menuju tempat yang belum pernah kau jejaki.
Saya berangkat dari Tuban. Tengah malam, 19 Juni 2025. Bersama tim kecil: saya, fotografer, dan direksi. Menumpang travel kecil Faaz Wisata namanya. Tujuan awal: Gedung Cak Durasim, Surabaya. Di sana, kami bergabung dengan rombongan besar: jurnalis, fotografer, dan seniman dari berbagai kota.
Saya masih asing. Wajah-wajah baru. Tapi udara pagi di Surabaya saat itu mengisyaratkan satu hal: saya akan pulang membawa cerita.
Perjalanan dari Surabaya ke Bromo terasa seperti transisi. Dari riuh ke hening. Dari lampu kota ke lampu-lampu bintang. Dari kenyataan ke dongeng.
Kami tiba di Probolinggo saat kabut masih tebal. Saya tak bisa lihat apa-apa, tapi bisa merasakan banyak hal. Udara di sini bukan sekadar dingin. Ia membawa semacam getar. Getar yang tak biasa.
Ketika matahari mulai muncul malu-malu, festival itu dimulai. Eksotika Bromo.
Sebuah pentas raksasa di lautan pasir. Tak ada panggung. Tak ada pagar penonton. Alam adalah panggung. Kita semua penontonnya.
Penari-penari muncul dari balik kabut. Musik tradisional mengalun. Kuda-kuda melintas. Debu naik ke langit. Lalu sunyi. Lalu gamelan kembali berbunyi. Semua seperti mimpi yang terlalu nyata.
Saya hanya bisa terdiam. Mencatat. Menyimpan. Merekam dengan mata dan hati.
Ini perjalanan luar kota pertama saya untuk meliput. Tapi rasanya seperti perjalanan ke dalam diri sendiri. Saya menemukan hal yang tak ada di buku. Tak ada di Google. Tak ada di rencana kerja redaksi.
Saya menemukan rasa ingin tahu. Tentang alam. Tentang budaya. Tentang keheningan.
Saya tak tahu siapa pencipta ide festival ini. Tapi siapa pun dia, ia berhasil membuat saya diam. Dan itu tak mudah.
Hari mulai siang. Kabut sedikit menghilang. Tapi kepala saya masih penuh.
Saya pulang membawa tanah di sepatu. Debu di baju. Tapi juga cerita di dada.
Eksotika Bromo 2025 bukan sekadar festival. Ia adalah pertemuan. Antara saya, bumi, dan sesuatu yang lebih besar dari keduanya.
Saya belum selesai menulisnya. Tapi langkah pertama sudah saya tapaki.
Dan saya tahu: saya akan kembali.
Berita Terkait
Tag
Arsip
Berita Populer & Terbaru










































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































Polling Online
Tidak ada polling tersedia.