Seri Eksotika Bromo (10): Jejak Tradisi di Lautan Pasir, Tarian Ksatria dari Sidoarjo

JURNAL PAPAR, Probolinggo – Kabut tipis masih bergelayut di atas lautan pasir Gunung Bromo. Matahari belum sepenuhnya menyengat, namun denting gamelan telah menggema, mengisi udara dengan aura magis. Di tengah eksotika alam dan atmosfer sakral itulah, sekelompok anak muda dari Sidoarjo tampil membawa sebuah pertunjukan yang tak biasa.

Nama mereka Satria Nusantara kelompok seni bentukan pelajar SMA dan SMK yang sehari-hari menekuni pencak silat. Tapi di Bromo, mereka bukan sekadar pendekar. Mereka adalah penari. Mereka adalah penjaga warisan budaya yang tampil lewat gerak, bukan kata.

Gerakan demi gerakan mereka membentuk kisah. Bukan kisah yang diucapkan lewat narasi atau dialog, melainkan lewat tubuh. Hentakan kaki, tangkisan silat, dan liukan tari berpadu membentuk alur. Di panggung alam yang luas tanpa batas dinding, mereka bercerita tentang ksatria yang berjuang menyatukan Nusantara.

“Biasanya kami gabungkan gerakan silat dengan tari tradisional. Kami buat beragam versi, sering juga improvisasi,” ujar Bintang, salah satu penampil, usai turun dari panggung pasir. Ia masih tampak kelelahan, tapi senyum tak pernah lepas dari wajahnya.

Penampilan mereka terasa kuat namun tetap anggun. Setiap gerak punya makna. Setiap langkah seperti membawa beban sejarah dan harapan masa depan.

Namun, tampil di lautan pasir bukan hal yang mudah.
“Jujur, awalnya sempat kaget. Kami terbiasa latihan di lapangan futsal. Pas melihat lautan pasir ini, medannya sangat berbeda. Tapi justru itu yang bikin pengalaman ini luar biasa,” ujar Ananta Bintang, yang juga terlibat dalam pertunjukan.

Terik mentari pagi mulai menyapa ketika pertunjukan berakhir. Tepuk tangan penonton menggema, menyatu dengan suara alam yang tenang. Para penampil turun panggung dengan peluh dan puas. Salah satunya Nadine Clara, yang tampak masih terpesona oleh momen yang baru saja dilalui.

“Pemandangannya indah banget. Ini pengalaman langka. Bangga bisa tampil di sini, di depan banyak orang, meski sempat gugup juga. Tapi rasanya luar biasa,” tuturnya.

Bagi mereka, panggung Eksotika Bromo 2025 bukan sekadar tempat tampil. Ini adalah arena pembuktian bahwa seni tradisional bukan barang kuno. Ia bisa hidup, bisa tumbuh, dan bisa bicara banyak—bahkan tanpa kata-kata.

Kelompok Satria Nusantara membawa pesan yang sederhana namun dalam: budaya bisa terus berkembang, tanpa harus melepaskan akar. Mereka tidak hanya menari, tidak hanya bersilat, tetapi juga merawat identitas dan menyampaikan semangat persatuan melalui bahasa gerak.

Di tengah kemegahan alam dan sakralnya Bromo, mereka meninggalkan jejak. Bukan hanya jejak kaki di pasir, tapi juga jejak tradisi di hati para penonton. Sebuah pengingat, bahwa warisan budaya tak pernah benar-benar hilang selama masih ada generasi yang mau menjaganya.