
Semakin berat aku semakin terkenal. Aku adalah selebriti. Namaku akan tertulis di dalam sejarah.
Aku tidak akan mendapatkan himbauan untuk menurunkan berat badan.
Tidak akan mendapatkan peringatan dari dokter sekalipun, tentu salah satu indikator kesehatanku adalah berat.
Aku adalah penyelamatmu. Menyelamatkanmu dari redupnya lampu sorot, kurangnya kata iya dan bagus. Aku bisa melakukan itu semua jika hanya aku gendut.
Aku bersama rekanku sering bertukaran pikiran ketika di kandang. Apakah kita ini hanya bahan flexing atau mungkin mereka membeli kita dengan tulus untuk berbagi. Aku tidak tahu niatmu.
Namun, aku merasakan energimu. Energi yang subjektif, jujur aku tidak bisa mengukur. Aku selalu berpikiran positif. Namun entah, apakah kamu bisa menunggangi ku nanti ?
Aku senang menjadi bagian dalam hidupmu.
Itu adalah cuplikan dari naskah monolog yang saya bikin satu tahun lalu.
Mengapa saya menulis begitu ?
Bagi sebagian orang yang gagal pulang di hari raya Idul Fitri, Idul Adha menjadi momen untuk berkumpul bersama keluarga. Jelas, sebagai mayoritas, jatah liburnya lebih panjang.
Mari kita lihat, besok atau hari ini akan berseliweran media yang membahas tentang sapi dan kambing. Dari politikus hingga konten kreator, semua terkesan adu berat dan harga. Kalau hewan itu adalah manusia sudah pasti akan insecure- ketakutan. Karena berat mereka yang luar biasa. Bikin geleng kepala. Framing media dari zaman saya kecil : semakin berat, semakin tinggi status sosialnya. Tentu, harga.
Presiden yang dulu juga begitu. Sampai ada yang membahas harga. Namun tidak tahu yang sekarang, ya. Karena ini adalah Idul Adha pertama beliau menjadi Presiden. Semua pasti akan ada yang pertama, to ?
Tapi ini bukan tentang hewan kurban.
Ini adalah panggung akbar yang lebih besar daripada grammy awards atau cannes film festival. Betul, deh. Untuk menunjukkan eksistensi dari seseorang, adu kredibilitas selalu diperlukan. Memberikan yang terbaik, katanya.
Saya,sih, tidak percaya. Bagaimana menurut Anda ?
Jengah menghadapi persepsi publik dan terkesan harus menyenangkan seseorang hanya untuk eksistensi. Itu diperlukan. Kita harus menjadi orang lain. Babakan itu, saya setuju benar. Panggung kurban adalah adu gengsi termahal dan terlihat jelas.
Dalam hati saya, apakah mereka pernah meminta maaf kepada hewan tersebut ? "Maaf ya, saya jadikan kamu bahan untuk menyuapi pengikut saya tentang eksistensi." Saya berharap mereka sering melakukannya, walau dalan hati.
Sebagai salah satu masyarakat konoha, yang sudah pasti kelas menengah. Suka dengan hal semacam ini dan mereka akan mulai menyebut ini adalah sebuah kebaikan.
Entah pujian yang keluar itu tulus atau hanya sebuah afirmasi bodong belaka. Hal ini semakin memotivasi orang yang adu gengsi itu untuk menakar di tahun depan, harus lebih berat, supaya penonton senang.
Sepengalaman saya, adu gengsi pejabat publik hingga public figure di hari besar agama adalah hal yang lumrah terjadi di negeri konoha. Saya sebut Konoha, bukan Indonesia.
Jadi jangan tersinggung. ***
Berita Terkait
Tag
Arsip
Berita Populer & Terbaru










































































































































































































































































































































































































Polling Online
Tidak ada polling tersedia.