
JURNAL PAPAR, TUBAN - Di malam itu, laut Tuban begitu tenang. Tak ada gemuruh ombak yang biasa terdengar. Hanya cahaya rembulan dan bintang yang menyinari permukaan air. Tenang. Nyaris tanpa suara. Seperti sedang menjaga sesuatu yang rapuh atau menunggu sesuatu yang tak kunjung datang.
Di seberangnya, Klenteng Kwan Sing Bio tampak gelap. Pintu-pintu kayu tertutup rapat. Tak ada cahaya dari dalam. Tak ada kehidupan. Altar ibadah yang biasanya menyala, kini padam. Rembulan yang bersinar dari langit pun tampaknya tahu: tempat ini seharusnya terang.
Sejak Minggu, 8 Juni 2025, nama Klenteng Kwan Sing Bio kembali muncul di banyak pemberitaan. Pemilihan ketua TTID (Tim Tujuh Internal Dewa) berujung konflik. Bukan pertama kalinya. Bukan juga konflik yang bisa dianggap sepele. Tapi, saya tak ingin mengulang kisah lama. Anda bisa mencarinya sendiri. Kisah ini bukan tentang konflik. Ini tentang sesuatu yang lebih dalam.
Tentang altar yang padam.
Tentang cahaya lilin yang semestinya terus menyala sebagai simbol penerangan batin, sebagai bentuk penghormatan kepada Kong Co Kwan Sing Tee Koen. Jika padam, maknanya tak sederhana. Ia bisa dibaca sebagai kehilangan arah. Bukan hanya untuk tempat itu, tapi juga bagi umat yang selama ini menjadikannya pusat spiritualitas dan budaya.
Di gerbang klenteng, naga-naga dan patung kepiting besar yang biasanya menyala megah di malam hari kini gelap. Hanya siluetnya yang terlihat samar oleh bias cahaya bulan. Sekilas, tetap tampak gagah. Tapi semua tahu, tanpa nyala api, tempat itu tak utuh.
Beberapa pedagang masih setia berjualan di pelatarannya. Ada yang duduk ngopi sambil bercerita pelan. Barangkali, salah satu dari mereka adalah wartawan juga. Mereka seperti penjaga informal yang menolak tempat ini benar-benar ditinggalkan.
Kwan Sing Bio bukan sekadar tempat ibadah. Ia simbol peradaban. Satu-satunya klenteng di Asia Tenggara yang menghadap langsung ke laut utara Jawa. Ia menyimpan jejak spiritualitas, migrasi, akulturasi, dan juga politik. Anda tentu ingat bagaimana patung raksasa Kong Co yang dulu menjulang tinggi, runtuh pada 2020. Tragedi itu belum pulih sepenuhnya.
Kini, klentengnya sendiri seakan ikut runtuh secara simbolik.
Kekhawatiran saya bukan pada hal gaib. Tapi pada nilai. Pada sejarah yang mungkin akan hilang jika tempat ini terus ditutup, dipenuhi konflik, dan dilupakan.
Tuban adalah titik penting jalur sejarah Majapahit, Islam, pesisir, perdagangan, budaya Tionghoa. Klenteng ini menjadi simpul. Jika simpulnya kusut, apa kabar benang sejarahnya?
Kita semua harus ikut menjaga, bukan hanya membicarakannya. Seperti rembulan yang tetap menyinari klenteng itu di tengah gelap. Kita, manusia, seharusnya bisa lebih dari itu. Menyala, bukan hanya menyinari. Menjaga, bukan hanya menonton.
Semoga altar itu belum benar-benar mati. Semoga nyala batin itu masih ada, walau kecil. Karena jika tidak, saya takut yang runtuh bukan hanya patung, bukan hanya tembok, tapi nilai-nilai yang pernah menjadikannya cahaya bagi banyak orang.
Tag
Berita Terkait
Tag
Arsip
Berita Populer & Terbaru






















































































































































































































































































































































































































































Polling Online
Tidak ada polling tersedia.
