
JURNAL PAPAR, Probolinggo - Saya datang terlambat. Tapi tidak ada yang terlambat di Bromo. Di Seruni Point, Probolinggo, sore itu, langit seperti membuka layar lebar. Awan mengapung seperti lukisan. Dan di tengah panggung terbuka yang menghadap langsung ke kaldera Bromo, sejarah lama sedang dituturkan ulang: tentang cinta, pengorbanan, dan gunung yang diberi nyawa.
Bukan dengan mulut. Tapi dengan gerak. Dengan dadak merak. Dengan jathilan. Dengan tarian kolosal dari Reyog Singo Benggolo.
Mereka membawa kisah Joko Seger dan Roro Anteng leluhur masyarakat Tengger yang bukan hanya cerita rakyat. Tapi fondasi spiritual. Sebuah silsilah batin dari peradaban yang tak pernah tunduk oleh waktu.
Saya melihat anak-anak muda duduk bersila di rerumputan. Sebagian dari mereka tertawa, sebagian lagi terdiam seperti tersedot ke masa lalu. Di depan mereka, para penari reyog bukan hanya bergerak, tapi menghidupkan kembali janji sepasang manusia kepada Gunung Bromo. Nazar yang berat: mempersembahkan anaknya sendiri.
Itu bukan cerita rekaan. Itu cara masyarakat Tengger menafsirkan gunung sebagai kehidupan. Sebagai pusat dari segala permohonan dan pengorbanan. Dan ketika Reyog Singo Benggolo menyajikannya di panggung, itu bukan sekadar hiburan. Itu adalah ritual. Upacara yang dibungkus seni.
Dan ketika saya bertanya pada salah satu penari, Tius namanya, ia berkata pendek tapi dalam:
"Kami cuma ingin anak-anak zaman sekarang tahu cerita ini. Jangan cuma tahu TikTok."
Ketipung mulai berbunyi. Suara tabuhannya khas. Ia bukan hanya alat musik. Tapi denyut spiritual masyarakat Tengger. Dentingnya bukan cuma mengiringi tarian, tapi juga membersihkan ruang.
Ada yang unik dari orkestra kecil ini. Semua alat musik dimainkan berpasangan: laki-laki dan perempuan. Gong dan kenong, kendang dan srompet. Semua berdua. Kecuali srompet. Hanya satu.
Saya tanya, kenapa?
Pak Toto, warga Tengger yang memegang srompet itu, menjawab sambil tersenyum,
"Karena hanya Tuhan yang satu."
Ah. Filosofi semacam ini tak bisa dibeli. Ia lahir dari ribuan tahun berdialog dengan alam. Ketipung itu, katanya lagi, berasal dari kata kateplong plong, kepenak, lentung sing jejer. Artinya: tidak ada energi negatif dalam tubuh. Semua dibuang. Dilepas.
Itu sebabnya mereka main musik sambil tersenyum. Bukan karena mereka senang. Tapi karena mereka sudah plong.
Pertunjukan ditutup dengan sesuatu yang tak tertulis dalam naskah: penonton menari bersama. Mereka bukan bagian dari kru. Tapi seolah tubuh mereka ditarik oleh irama. Di bawah langit yang mulai gelap, dan Gunung Bromo yang perlahan menyembunyikan dirinya di balik kabut, semua orang menjadi satu.
Tak ada lagi penonton. Yang ada hanya manusia yang menari bersama sejarahnya.
Dan mungkin, di atas awan, Joko Seger dan Roro Anteng ikut menari pula.
Berita Terkait
Tag
Arsip
Berita Populer & Terbaru
























































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































Polling Online
Tidak ada polling tersedia.