Legenda Tersembunyi di Tuban: Cerita Sepiring Tahu Lontong, Haji, dan Kebaikan

Namanya Bu Siti, usianya sekarang sudah 68 tahun. Ia sudah berjualan sejak 20 tahun silam, bahkan lebih. 

"Saya lupa cung, pokoknya Pak Harto (Presiden ke-2 RI Soeharto, red) selesai, saya jualan, siapa ya Presidennya? Pak Gus Dur ya?" ucapnya sambil membuatkan sepiring lontong tahu.

Awalnya saya tidak ingin makan malam, namun karena tiba-tiba melihat sebuah banner lusuh yang nyaris tidak terbaca dengan tulisan Lontong Tahu Nenek, membuat saya ingin mampir. 

Ia berada di Kecamatan Merakurak, tepatnya di depan Balai Desa Mandirejo. Anda pasti tidak akan bisa melihatnya, karena lokasinya di depan rumah. 

Neneknya ramah, dan masih jagoan. Bagaimana tidak? Ia masih mengulek sendiri bumbunya di depan pelanggan. Kata anak sekarang sih, namanya open bar kitchen. 

Harganya hanya Rp 10 ribu, lontongnya lebih gede dari ukuran lengan saya. Kalau mau tahu, ukuran lengan saya berapa, Anda kira-kira saja, ukuran baju saya XXL.

Nenek Siti menuturkan bahwa dari jualan inilah ia bisa menunaikan ibadah haji pada tahun 2023. Biayanya ratusan juta, tuturnya. 

Waktu kemarin orang-orang berangkat haji, ia jadi terharu dan teringat dan ingin kembali. Benar, ia menceritakannya dengan mata yang berkaca-kaca. 

Tambahnya, bahwa dia pergi ke tanah suci setelah menabung puluhan tahun dari jualan lontong tahu membuatnya terharu betul, rasanya tidak ingin pulang dan menetap di Arab sana.

Hari itu angin kencang dan dingin, namun tidak terasa karena pedasnya tahu Nenek Siti. Saya bisa merasakan nikmatnya masakan nenek, rasanya otentik. 

Ia masih menggunakan cobek dari tanah liat dan uleg dari kayu. Tidak ada resep pakem ujarnya, yang bekerja sudah tangannya, bukan matanya. Sudah terlampau jago. 

Dengan kerudung kuning ia mengusap air mata yang hampir jatuh itu. Ia mnlanjutkan ceritanya bahwa ia ingin tetap melakukan pekerjaan ini sampai nanti. 

Dia  dibantu cucunya yang baru datang setelah membuatkan pesanan antrian setelah saya. Cucu perempuannya masih muda, mungkin sekitar belasan tahun. Namun sama cekatannya dengan beliau.

Saya bilang mau bungkus tiga untuk teman saya, dia bersuka ria. Senang hati sambil bercerita tentang teknologi dan majunya zaman. 

Membuatkan bungkusan saya dengan semangat. Namun, sayangnya punya saya tidak habis, karena porsi besar dan saya selepas maghrib tadi baru saja mengunyah roti. Sedang diet.

Beliau bilang, "kenapa Cung, kepedasan? Apa tidak enak?"

Saya bilang bahwa ini porsinya kebanyakan dan saya baru makan. Saya ingin bungkus dan saya akan nikmati nanti di jam malam, biasa lembur. Maklum, direktur perusahaan rintisan, pasti tidurnya kurang.  Jadi selalu harus ditemani makan.

Ketika beranjak dari sana, saya menangis. Saya langsung telepon mama saya, saya bilang, saya menemukan yang rasanya mirip lontong tahu Mbah Yi di Tuban. Kota yang baru saja saya injak selama kurang lebih sebulan ini.

Ternyata betul, Tuban memang menyimpan banyak legenda tersembunyi, saya ingin mengungkapnya satu per satu. Pertama, lewat Mbah Siti ini yang saya temukan pada Kamis malam, 22 Mei 2025.  (Ibra) ***