Gajah Sang Raja: Jejak Kekuasaan Tuban yang Dijarah Mataram

01 June, 2025

JURNAL PAPAR, TUBAN - Di balik kemegahan sejarah kerajaan-kerajaan Jawa, ada satu makhluk agung yang jejaknya begitu lekat dengan para raja: gajah. Bukan sekadar hewan peliharaan, gajah di masa lampau adalah simbol status, kekuatan, dan kemewahan yang tidak semua penguasa bisa memilikinya.

Para raja Jawa seperti yang tercatat dalam berbagai babad dan naskah kuno memelihara gajah-gajah terbaik. Mereka melatihnya untuk berbagai keperluan: mengiringi upacara keagamaan, mengangkat simbol kebesaran saat kirab kerajaan, hingga diturunkan langsung dalam strategi militer dan ekspansi wilayah. Gajah menjadi representasi hidup dari kuasa dan kewibawaan seorang raja.

Salah satu kisah yang menarik datang dari Tuban, sebuah wilayah pesisir utara Jawa Timur yang pernah menjadi salah satu pusat kekuasaan penting di masa lalu. Pada masanya, Tuban memiliki sejumlah gajah yang dipelihara langsung oleh raja mereka, Arya Parmalat. Keberadaan gajah-gajah ini menjadi penanda bahwa Tuban bukan sekadar pelabuhan dagang, tetapi juga kerajaan berdaulat dengan kekuatan militer dan simbol kerajaan yang lengkap.

Namun sejarah punya caranya sendiri untuk menguji kejayaan. Pada tahun 1619, saat Kerajaan Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung menaklukkan Tuban, gajah-gajah kebanggaan itu lenyap. Dikutip dari akun Instagram Tropong Sejarah, gajah-gajah milik Arya Parmalat dijarah oleh pasukan Mataram. Sejak saat itu, tak lagi terdengar kisah tentang gajah di Tuban.

Kisah ini mungkin terdengar seperti legenda, tapi sesungguhnya menjadi bukti bagaimana hewan seperti gajah punya peran sentral dalam politik, budaya, dan bahkan pertahanan kerajaan-kerajaan Jawa. Mereka bukan hanya binatang besar, tapi juga penjaga kehormatan dan saksi bisu sejarah.

Kini, Tuban memang tak lagi memiliki gajah. Namun kenangan tentang kebesaran Arya Parmalat dan gajah-gajahnya tetap hidup dalam fragmen sejarah yang masih bisa kita telusuri. Dari catatan sejarah hingga akun media sosial seperti Tropong Sejarah, kisah ini terus mengingatkan kita bahwa kejayaan masa lalu bukan hanya tentang istana dan tahta, tapi juga tentang makhluk-makhluk agung yang pernah hidup berdampingan dengan para raja.