SERI 2: Ketika Sarung Lebih Hangat dari Jaket di Ngadisari

JURNAL PAPAR, Probolinggo - Perjalanan saya dimulai dari Tuban pesisir yang panas dan akrab dengan bau asin laut. Lalu transit sebentar di Surabaya. Sebentar yang terasa panjang karena menunggu bus berikutnya sambil menyeruput kopi terminal. Dan akhirnya, kaki ini menginjak tanah Probolinggo. Tanah yang tak saya kenal. Tanah yang tak perlu banyak kata.

Ketika kendaraan melambat menjelang Desa Ngadisari, mendadak langit terbuka. Bukan karena cuaca, tapi karena ada bentang alam yang tiba-tiba menampar mata: Gunung Bromo berdiri, jauh tapi nyata. Samar tapi pasti.

Di sebelahnya, Gunung Batok berdiri kerucut. Seperti kerupuk emping yang dibalik jadi topi. Gunung Kursi pendiam seperti lelaki tua yang tahu banyak tapi enggan bicara. Gunung Widodaren yang katanya sakral, tempat para leluhur bersandar.

Saya hanya bisa diam. Tubuh saya membeku, bukan karena takut, tapi karena dingin yang mendalam. Termometer di ponsel menunjuk 17 derajat. Tapi angin membawa rasa yang menusuk lebih dari angka. Rasanya seperti masuk kulkas. Tanpa izin.

Beberapa teman wartawan mulai mengeluh. Pelan. Tak ada yang teriak. Suara kami kalah dengan angin. Jaket-jaket tipis mendadak terasa seperti kain basah. Saya sendiri akhirnya memilih sarung. Bukan gaya, bukan budaya. Tapi karena itu satu-satunya kain tambahan yang saya bawa dari Tuban. Dan, entah kenapa, memakainya seperti kembali ke pelukan rumah.

Ngadisari memang dingin. Tapi bukan dingin yang marah. Ia dingin yang sabar. Dingin yang memberi ruang. Dingin yang berkata tanpa suara: "Tenanglah, ini bukan tempat untuk tergesa-gesa."

Saya berdiri di balkon penginapan. Menatap tembok alam yang mengepung saya dari tiga sisi. Gunung, bukit, dan awan. Di bawah, teman-teman masih sibuk mengemasi kamera dan tripod. Tapi tubuh mereka seperti diperlambat oleh udara. Dan memang, di Bromo, tak ada yang bisa cepat. Waktu di sini seperti air licin. Tidak bisa digenggam, tapi terus mengalir perlahan.

Saya mencatat semuanya. Bukan di gawai. Tapi di buku catatan kecil yang sudah mulai lembab karena embun. Tulisannya mungkin berantakan, tapi hatinya tidak. Karena saya tahu, catatan ini bukan untuk headline. Tapi untuk kenangan.

Di Bromo, pagi bukan waktu bangun. Pagi adalah waktu untuk mendengarkan. Mendengarkan alam bicara tanpa mulut. Lewat kabut. Lewat desir debu. Lewat bau tanah basah yang entah dari mana datangnya.

Saya diam. Bukan karena kehabisan kata. Tapi karena saya tahu, kata-kata saya tidak akan pernah bisa mengalahkan sunyi yang disusun rapi oleh Bromo.

Dan dalam sunyi itulah, saya merasa pulang. Bukan ke Tuban. Tapi ke dalam diri sendiri.