
JURNAL PAPAR, SURABAYA - Anggota Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Ir. Ahmad Syauqi Soeratno, M.M., menyerap aspirasi masyarakat melalui kegiatan reses Masa Sidang IV Tahun Sidang 2024–2025 dengan menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema Pengusulan Hari Kebudayaan Nasional, Rabu (4/6). Kegiatan yang dilaksanakan secara daring ini merupakan hasil kerja sama dengan Tim Garuda 9 Plus dan diikuti oleh sejumlah budayawan, akademisi, serta perwakilan masyarakat dari berbagai daerah.
FGD ini memunculkan dinamika yang cukup kuat, terutama saat dibahasnya usulan tanggal 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional. Tanggal tersebut merujuk pada momen pengesahan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” pada 17 Oktober 1951.
Namun, sejumlah tokoh budaya menolak usulan tersebut. Budayawan asal Surabaya, Heri Lentho, dalam pernyataannya menyebut tanggal 17 Oktober berpotensi menimbulkan kontroversi politik.
“Tanggal itu bertepatan dengan hari lahir Presiden Prabowo Subianto. Ada kekhawatiran akan munculnya kecurigaan publik terkait simbolisme politik,” ujar Heri dalam forum Zoom.
Menurutnya, Hari Kebudayaan Nasional seharusnya menjadi ruang sakral yang melintasi zaman, identitas, dan politik, bukan justru terjebak dalam narasi kekuasaan. Heri juga menilai bahwa 17 Oktober tidak memiliki signifikansi budaya yang kuat di level akar rumput. Ia pun mengusulkan alternatif tanggal lain seperti 21 Mei (sehari setelah Hari Kebangkitan Nasional), 17 Mei (Hari Buku Nasional & Hari Museum Internasional), serta 15 Juli yang disebut sebagai hari lahir simbolik Mpu Tantular—tokoh pencetus frasa “Bhinneka Tunggal Ika”.
Penolakan juga datang dari Prof. I Made Bandem, budayawan asal Bali, yang menyatakan ketidaksetujuannya atas tanggal tersebut. Menurutnya, penetapan Hari Kebudayaan Nasional harus melalui kajian historis yang mendalam dan mendapat legitimasi luas dari komunitas budaya nasional.
Sementara itu, Arief Rofiq, aktivis kebudayaan dari Jawa Timur, menyampaikan keprihatinannya melalui media sosial. Ia mengingatkan agar proses penetapan Hari Kebudayaan Nasional tidak terjebak pada simbolisme kekuasaan.
“Kita berkaca pada Presiden Saddam Hussein di Irak. Pernah diagungkan, tetapi ketika politik berbalik, semua simbolnya diruntuhkan. Jangan sampai Hari Kebudayaan nanti menjadi bahan olok-olok ketika arah politik berubah,” tulis Arief.
Meski banyak peserta yang menyatakan ketidaksetujuan, FGD ditutup dengan pembacaan deklarasi dan penyerahan dokumen kepada perwakilan Kementerian Kebudayaan. Dalam sesi akhir, para peserta juga diminta untuk menandatangani daftar hadir yang dianggap sebagai bentuk dukungan terhadap deklarasi.
Kegiatan ini menjadi bagian dari agenda DPD RI dalam menjaring aspirasi publik. Ir. Ahmad Syauqi Soeratno menyatakan bahwa seluruh masukan dan kritik akan dibawa ke tingkat nasional untuk dibahas lebih lanjut dalam forum resmi di DPD RI.
“Kita serap semua pandangan, baik yang setuju maupun yang menolak. Budaya adalah milik semua, bukan milik segelintir pihak. Maka proses ini harus inklusif dan transparan,” tegas Syauqi.
FGD ini menjadi salah satu langkah penting dalam menggali suara masyarakat terkait urgensi dan penetapan Hari Kebudayaan Nasional yang diharapkan tidak hanya bersifat simbolik, tetapi juga mengakar dalam kesadaran budaya bangsa.
Tag
Berita Terkait

Duel Krusial! Prediksi Susunan Pemain Timnas Indonesia vs China di Kualifikasi Piala Dunia 2026

Kabar Baik! PLN Kembali Beri Diskon Listrik 50 Persen Juni–Juli 2025, Hanya Pelanggan ini yang Dapat

Kejurnas Angkat Besi Senior 2025, Komitmen Petrokimia Gresik Dukung Prestasi Olahraga Nasional
Tag
Arsip
Berita Populer & Terbaru










































































































































































































































































































































































































Polling Online
Tidak ada polling tersedia.