Bertutur Lewat Bayangan: Dalang Ki Eko Hidupkan Kembali Kisah Parikesit

27 June, 2025

JURNAL PAPAR, Tuban — Wayang kulit bukan sekadar hiburan. Ia adalah warisan budaya yang sarat makna, menyimpan filosofi, petuah, dan nilai-nilai kehidupan orang Jawa. Di balik bayangan para tokoh yang menari di atas layar putih, tersimpan ajaran luhur yang diwariskan lintas generasi.

Wayang kulit merupakan seni pertunjukan khas Jawa. Menggunakan boneka pipih dari kulit kerbau, dimainkan oleh seorang dalang dengan iringan gamelan dan kisah-kisah pewayangan. Lakon yang dibawakan tak hanya menyenangkan, tapi juga mengandung pelajaran tentang kepemimpinan, kebijaksanaan, hingga makna hidup.

Hal itu pula yang diyakini oleh Ki Eko Hadi Purnomo, dalang asal Rengel, Tuban, yang telah menekuni dunia pedalangan sejak 1995. Lulusan SMKI Solo, sekolah khusus kesenian, Ki Eko merupakan keturunan keluarga dalang dan telah mendedikasikan hidupnya untuk menjaga seni tradisi ini.

“Wayang itu punya energi. Di dalamnya ada ajaran dan kisah yang bisa kita ambil,” ujar Ki Eko. Baginya, wayang bukan hanya pertunjukan, tetapi media untuk menyampaikan nilai-nilai hidup. “Wayang adalah bentuk budaya yang harus dijaga agar tidak punah.”

Sejak tahun 2002, Ki Eko menjadi dalang tetap dalam acara haul Syekh Maulana Ishak al Maghribi di Dusun Dondong, Desa Gedongombo, Tuban. Tradisi ini rutin digelar setiap malam 1 Suro, dan selalu dimeriahkan dengan pagelaran wayang kulit sebagai bagian utama perayaan.

“Kenapa wayangan? Karena sudah dari zaman dulu,” kata Prabowo, ketua panitia haul sekaligus warga Gedongombo. Menurutnya, tradisi ini merupakan amanat para leluhur. “Kakek-kakek kami dulu berpesan, kalau sedekah bumi itu harus ada wayangan. Maka dari itu kami lestarikan.”

Tahun ini, dua lakon dimainkan. Pada siang hari ditampilkan Sri Sadana, dan pada malam hari Banjaran Parikesit, yang mengisahkan perjalanan hidup Parikesit sejak lahir hingga menjadi raja.

“Cerita malam ini tentang Parikesit, dari kecil sampai menjadi raja. Harapannya, penonton bisa menangkap pesan-pesan yang ada dalam cerita,” jelas Ki Eko.

Bagi Ki Eko, wayang juga menjadi sarana edukasi budaya, terutama untuk generasi muda. Melalui tokoh dan lakon, anak-anak dan remaja diajak mengenal kembali kearifan lokal yang kini mulai tersisih oleh zaman.

“Selain haul, acara ini juga bertujuan mengenalkan bahwa di sini ada makam seorang waliyullah,” tambah Prabowo. Haul, kata dia, tak sekadar ritual mengenang tokoh besar Islam lokal, tapi juga momentum memperkenalkan budaya Jawa kepada khalayak.

Panggung yang didirikan di pelataran makam Syekh Maulana Ishak al Maghribi itu telah menjadi simbol keberlanjutan. Setiap tahun, sejak 2002 hingga kini, pertunjukan ini terus digelar di tempat yang sama.

Bagi Ki Eko, merawat budaya adalah bentuk tanggung jawab sosial.

“Kita harus belajar budaya, agar bisa mengambil pelajaran darinya. Supaya kita bisa hidup rukun dengan sesama,” pungkasnya.

Dan selama masyarakat Gedongombo masih percaya pada makna di balik pertunjukan wayang kulit, layar putih itu tak akan pernah benar-benar diturunkan. Cerita-cerita lama akan terus hidup, menjadi cahaya penuntun bagi generasi mendatang.