Nyaris Kritis, Bocah DBD di Tuban Diduga Lambat Ditangani Puskesmas Bulu

11 July, 2025

JURNAL PAPAR, Tuban –  Keluhan terhadap pelayanan Puskesmas Bulu kembali mencuat. Kali ini datang dari keluarga Zunita warga kradenan, Bibi dari Moh Khoirul Mustaqim (12), yang nyaris dalam kondisi kritis setelah sebelumnya menjalani perawatan di Puskesmas tanpa penanganan lanjutan yang dianggap memadai.

Kronologi bermula pada Rabu, 2 Juli 2025. Khoirul mengeluhkan demam tinggi. Ia sempat diperiksakan ke dokter umum Perak dan didiagnosis tipes. Setelah mengonsumsi obat, kondisi anak tak kunjung membaik. Malam harinya sekitar pukul 20.00 WIB, keluarga membawanya ke Puskesmas Bulu.

Setibanya di sana, tim medis melakukan pengecekan trombosit dan mendapati bercak merah di tubuh Khoirul yang semakin menyebar. Perawat kemudian menyampaikan kondisi ini kepada Kepala Puskesmas, dr. Jamiati. Namun keputusan awal adalah pemberian obat jalan tanpa opname.

Keluarga mulai cemas saat mendengar komentar petugas yang menyebutkan bahwa “anak ini sudah lama sakit, mungkin tidak terasa”. Kondisi anak tidak menunjukkan perbaikan. Akhirnya ia diinfus dan opname. Namun, selama malam itu infus tidak berjalan lancar dan harus dipercepat keesokan harinya.

Masalah berikutnya muncul pada hasil laboratorium. Hasil yang seharusnya menjadi acuan diagnosis tidak dicetak. Keluarga hanya ditunjukkan data melalui layar monitor. Petugas menyatakan hasilnya normal dan tidak mengarah ke demam berdarah. Pada Jumat pagi, Khoirul dipulangkan.

"Dikasih lihat hasil lab nya mas, cuma tidak cetak, bapaknya hanya ditunjukkan hasil lab di monitor komputer," jelas Zunita.

Namun, hanya beberapa jam berselang, selepas salat Jumat, panas tubuh anak kembali naik. Matanya memerah. Ia dibawa kembali ke Puskesmas. Petugas menyebutnya sebagai efek obat dan tidak memberikan rujukan ke rumah sakit. Sebagai gantinya, keluarga hanya mendapat surat kontrol untuk hari Senin.

"Kata puskesmas disuruh pulang, karena katanya efek obat, keluarga ya tenang," jelas Zunita.

Hari berikutnya, kondisi Khoirul tidak membaik. Sabtu ia kembali panas. Keluarga masih mengira itu efek samping obat.

Puncaknya terjadi Minggu 6 Juli malam selepas magrib. Tubuh Khoirul mendadak dingin, kaku, dan ia mulai mual. Dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Ali Mansur Jatirogo, ia mengalami kejang di tengah jalan.

"Di jalan kami kira sudah tidak tertolong. Tapi Alhamdulillah, sampai Jatirogo langsung ditangani dan hasil lab menyatakan positif DBD. Anak dinyatakan kritis," ujar Zunita saat ditemui Jurnal Papar.

Di rumah sakit, anak tersebut akhirnya menjalani perawatan intensif selama dua hari. Ia diperbolehkan pulang pada Selasa sore. Kondisinya mulai membaik meski masih tampak lemas dan bibir kering.

Pihak keluarga menyayangkan sikap Puskesmas Bulu yang mereka nilai kurang responsif dalam menangani kondisi yang sudah menunjukkan gejala serius.

Menanggapi keluhan tersebut, Kepala Puskesmas Bulu, dr. Jamiati, menyatakan bahwa seluruh prosedur penanganan telah sesuai dengan standar operasional.

Ia menegaskan bahwa hasil laboratorium bersumber dari mesin dan tidak menunjukkan keluhan yang mengarah ke DBD saat itu. "Sudah tidak ada keluhan, itu hasil lab, hasil lab kan dari tes, darah yang dimasukan ke mesin, ya seperti itu." Maksud petugas, silakan diminum obatnya, dan kami sampaikan bila panas berlanjut, silakan kembali untuk tes lab ulang," tambahnya.

Jamiati juga menyebut Puskesmas Bulu melayani lebih dari 100 pasien per hari dan membuka ruang pengaduan melalui kotak saran.

"Monggo, kami ini tim pengaduan juga. Tapi ya, sehari bisa di atas 100 pasien," ujarnya.

Meski demikian, insiden ini membuka kembali perdebatan tentang ketepatan dan kecepatan pelayanan dasar kesehatan, terutama di wilayah dengan akses terbatas.

Aduan ini juga sering terdengar dari masyarakat Bulu Kecamatan Bancar. Bagi keluarga Khoirul, pengalaman ini menjadi pengingat bahwa perhatian serius terhadap gejala awal sangat krusial, dan bahwa evaluasi pelayanan bukan sekadar soal prosedur, tapi soal nyawa.