Museum dari Abu dan Air Mata

14 June, 2025

JURNAL PAPAR, YOGYAKARTA - Saya tidak sedang keliru masuk rumah. Tapi juga tidak bisa menyebut ini museum dalam arti konvensional.

Namanya: Museum Mini Sisa Hartaku. Lokasinya di Dusun Petung, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Dulu rumah tinggal. Kini saksi bisu bencana Merapi 2010. Lebih tepatnya: rumah yang disulap jadi ingatan kolektif.

Saya masuk pelan-pelan. Tak ada loket tiket. Hanya sebuah kotak kayu kecil bertuliskan “donasi seikhlasnya.”

Di dalam, mata langsung tertumbuk pada sepeda motor yang tinggal rangka. Warnanya gosong. Besi-besinya melengkung. Tak ada suara kecuali desir angin dan langkah kaki saya sendiri.

Lalu mata beralih ke rak kaca. Di sana: boneka hangus, cangkir yang tinggal gagangnya, jam dinding yang mati tepat pukul 00.05.

Itu bukan sekadar jam mati.

Itu waktu ketika Merapi mengubur satu kampung. Juga waktu yang berhenti bagi puluhan keluarga.

Termasuk keluarga Pak Riyanto, pemilik rumah ini.

Dia tidak terlalu banyak bicara. Tidak juga sok dramatis. Tapi dari sorot matanya, saya tahu: museum ini bukan proyek. Bukan pula destinasi wisata. Tapi semacam terapi.

Terapi dari kehilangan.

“Semua ini... sisa dari apa yang kami punya dulu,” katanya lirih.

Saya tidak tanya banyak. Ia pun tidak bercerita banyak. Tapi benda-benda itu bicara. Bahkan lebih nyaring dari kata-kata.

Kerangka sapi masih utuh. Lengkap. Lahar panas tak hanya membakar ladang, tapi juga harapan. Di rumah ini, semua itu dikumpulkan: radio rusak, panci meleleh, pigura foto yang gosong. Bahkan ijazah anaknya yang tak terbaca lagi karena hangus separuh.

Lucu juga. Orang lain membangun rumah baru setelah bencana. Ia malah menyisakan puing-puing.

Tapi saya mengerti. Sebab kalau semua dibersihkan, yang tersisa tinggal lupa.

Museum ini bukan tempat wisata. Tapi anehnya, tiap tahun ribuan orang datang. Mahasiswa. Pelajar. Peneliti. Kadang bule juga.

Ada yang hanya melihat. Ada yang diam cukup lama. Ada juga yang menangis diam-diam.

Saya tidak tahu apakah mereka merasa sedih atau merasa bersalah.

Saya sendiri merasa dua-duanya.

Sedih karena melihat betapa manusia sangat kecil di depan alam. Bersalah karena seringkali merasa lebih besar dari yang sebenarnya.

Museum ini kecil. Tapi mengajarkan sesuatu yang besar: bahwa hidup itu rapuh. Bahwa waktu bisa berhenti. Dan bahwa dari puing, manusia bisa memulai ulang bukan dengan melupakan, tapi dengan mengingat.

Pak Riyanto tidak pernah sekolah tinggi. Tapi ia lebih tahu soal nilai hidup daripada banyak profesor.

Ia tidak mengeluh. Tidak menuntut bantuan. Ia hanya menjaga sisa hartanya. Karena katanya: “Kalau bukan saya, siapa lagi?”



---



Komentar