Eksotika Bromo, (SERI 13): Lab Remo dan 200 Penari Ramaikan Eksotika Bromo, Rayakan Budaya di Alam Bebas

JURNAL PAPAR , Probolinggo - Langit cerah menghampar di atas Lautan Pasir Bromo, seolah menyambut setiap langkah kaki para penari yang berdatangan dari berbagai penjuru. Mereka datang untuk satu tujuan: merayakan budaya dalam gelaran Eksotika Bromo 2025.

Di antara mereka, tampak puluhan penari muda dari Lab Remo Surabaya sanggar yang sejak lama dikenal sebagai rumah bagi pelestarian Tari Remo. Bukan sekadar tampil, mereka hadir membawa misi: menyampaikan gerak, cerita, dan makna kesenian kepada dunia.

Tarian dalam Pelukan Alam

Digelar di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Eksotika Bromo 2025 kembali menjadi magnet ribuan penonton pada 21–22 Juni lalu. Dengan latar megah kaldera Bromo dan hembusan angin gunung yang dingin, sekitar 200 penari menghidupkan panggung terbuka terbesar di alam bebas Jawa Timur.

“Kami tampilkan Joko Berek, Sigrak Adat Joko Berek, dan tentu saja Tari Remo. Itu napas utama kami,” ujar Efan, penari sekaligus pengajar di Lab Remo, saat ditemui usai pertunjukan.

Tari Remo: Lebih dari Sekadar Gerakan

Tari Remo mungkin akrab di mata banyak orang, biasa tampil di panggung formal atau layar televisi. Namun, ketika digelar di atas pasir Bromo, maknanya terasa berbeda. Bayangkan saja: dua ratus penari, berjajar rapi di hamparan pasir, bergerak dalam harmoni, tanpa dinding, tanpa batas hanya tubuh, gerak, dan semesta.

“Remo bukan cuma soal gerakan yang gagah,” lanjut Efan. “Tapi juga tentang merawat warisan yang sudah turun dari generasi ke generasi.”

Sebagai tarian penyambutan tamu kehormatan, Tari Remo punya ciri khas langkah kaki yang cepat dan tegas, dipadu ekspresi wajah yang kuat. Dulu dibawakan oleh penari laki-laki, kini semakin banyak perempuan yang ikut menari dengan karakteristik tersendiri.

Empat Kali Tampil, Empat Kali Belajar

Eksotika Bromo bukan panggung baru bagi Lab Remo. Mereka sudah ambil bagian sejak 2020, lalu tampil lagi di 2022, 2023, dan kini, 2025 menjadi penampilan keempat.

“Tiap tahun tantangannya beda. Tapi atmosfernya selalu bikin merinding,” ujar Efan.

Untuk bisa tampil sebaik itu, latihan dilakukan intensif selama sebulan. Tak hanya mengulang pola gerak, tapi juga menyamakan tempo, memperkuat stamina, hingga membiasakan diri dengan medan pasir.

“Nari di atas pasir itu susah, lho. Tapi itu bagian dari proses belajar tentang teknik, kekompakan, dan semangat,” tambahnya.

Panggung Alam, Kualitas Festival

Tahun ini, Eksotika Bromo disebut-sebut sebagai penyelenggaraan terbaik sejauh ini. Penataan panggung lebih rapi, pencahayaan lebih presisi, dan penataan penonton juga lebih tertib. Bagi kelompok seperti Lab Remo, hal ini memberikan nilai lebih.

“Panggungnya keren banget. Rasanya seperti nari di tengah alam, tapi kualitasnya festival besar,” kata Efan.

Selain Lab Remo yang mengirim 50 penari, puluhan sanggar lain turut serta, menyuguhkan berbagai varian Tari Remo dan tari kreasi lain yang berakar pada budaya lokal.

Di Antara Debu dan Warisan

Menari di Bromo bukan sekadar penampilan. Ia adalah bagian dari perjuangan menjaga napas tradisi di tengah derasnya zaman. Di balik selendang yang berkibar dan kaki yang menghentak debu, tersimpan nilai: ketekunan, kebersamaan, dan identitas budaya.

“Kami tidak ingin Tari Remo hanya jadi tontonan sesekali. Kami ingin ini hidup di keseharian, di lingkungan, di jiwa masyarakat,” pungkas Efan.

Dan pagi itu, di tengah hamparan pasir yang tenang, langkah-langkah para penari Remo seolah bicara lebih keras dari kata-kata: bahwa budaya bukan hanya diwariskan ia harus terus diperjuangkan.