Menyentuh Masa Lalu: Tradisi Jamasan Pusaka Hidup Kembali di Tuban

29 June, 2025

JURNAL PAPAR, Tuban – Di pelataran sederhana Sekretariat Paguyuban Megalamat di Bejagung, Semanding, Tuban, Minggu pagi (29/6/2025), aroma bunga dan minyak pusaka menguar pelan di antara suara lantunan doa. Para anggota komunitas duduk khidmat, sementara satu per satu benda pusaka mereka – keris, tombak, pedang, hingga kujang – dibersihkan dengan telaten dalam ritual jamasan.

Ini bukan sekadar seremoni. Ini adalah perwujudan cinta dan tanggung jawab terhadap warisan leluhur yang nyaris terlupakan.

Paguyuban Megalamat, komunitas pelestari tosan aji (senjata tradisional Nusantara), telah menghidupkan kembali tradisi jamasan pusaka selama lebih dari lima kali sejak berdiri tahun 2017. Setiap bulan Suro, momen sakral dalam kalender Jawa, mereka berkumpul untuk melakukan ritual ini. Sebagian datang sebagai kolektor, sebagian lainnya hanya ingin belajar. Tapi semuanya punya tujuan yang sama: menjaga agar pusaka dan nilai-nilai yang dikandungnya tak pudar ditelan waktu.

“Jamasan ini bukan cuma ritual, tapi juga cara kami mendidik masyarakat, khususnya generasi muda,” ujar Teguh Ugik Widiyanto, panitia sekaligus pengurus komunitas.

Pusaka yang dijamas bukan hanya milik pribadi anggota, melainkan juga milik warga sekitar yang menitipkan warisan keluarga untuk dibersihkan. Prosesnya tak sembarangan. Dibutuhkan keahlian khusus dari seorang penjamas yang memahami teknik pembersihan logam tanpa menghilangkan nilai spiritual dan historisnya. Setiap bilah pusaka diperlakukan layaknya naskah kuno – penuh penghormatan dan kehati-hatian.

Tak sedikit anggota yang membawa lebih dari lima benda pusaka. Bagi mereka, pusaka bukan sekadar benda mati, tetapi saksi sejarah keluarga, penjaga nilai-nilai kehidupan, bahkan simbol jati diri.

“Kalau dari komunitas kami, pemilik tosan aji itu banyak. Rata-rata setiap orang punya lebih dari lima pusaka,” imbuh Teguh.

Kegiatan jamasan ini bukan hanya tentang membersihkan besi. Ia adalah ruang kontemplasi, dialog lintas generasi, dan bentuk perlawanan paling halus terhadap lupa. Di tengah arus modernisasi dan digitalisasi, Megalamat memilih tetap teguh berdiri sebagai penjaga nilai, seolah ingin berkata: sejarah bukan untuk dikenang saja, tapi juga dirawat.

Dengan air bunga, doa, dan sentuhan tangan penuh cinta, pusaka-pusaka itu kembali bersinar. Dan di balik kilaunya, tersimpan harapan agar semangat leluhur tetap hidup dalam kehidupan masa kini.