
JURNAL PAPAR, Probolinggo – Langit di atas lautan pasir Gunung Bromo siang itu tampak teduh. Udara dingin masih mengalir dari kaldera, menyusup hingga ke penginapan-penginapan di Cemoro Lawang. Hari pertama tim Jurnal Papar tiba di lokasi tidak diawali dengan pertunjukan meriah. Tapi suasana yang kami temukan justru terasa lebih dalam: sepi yang sarat persiapan.
Kami bergerak turun menuju lautan pasir, tempat utama perhelatan Eksotika Bromo 2025 akan digelar. Hari itu adalah jadwal gladi kotor, sesi latihan terbuka sebelum acara resmi dibuka. Area pertunjukan terbuka sudah berdiri, ditopang latar pegunungan yang megah dan langit Bromo yang tak pernah sama dua jam berturut-turut.
Tahun ini, Eksotika Bromo mengusung tema “Ruwat Rawat Segoro Gunung.” Sebuah ajakan untuk merawat alam sebagaimana masyarakat Tengger merawat tradisi mereka. Tidak hanya menjadikan alam sebagai latar belakang pertunjukan, tapi menjadikannya inti dari narasi budaya yang diangkat.
Di panggung terbuka itu, aktivitas mulai terlihat. Para penari berlatih gerakan yang akan ditampilkan untuk penutupan. Tapi yang paling menarik perhatian hari itu adalah kehadiran Olivia Zalianty, aktris nasional yang tampil dalam sesi pembacaan puisi.
Meskipun masih dalam sesi gladi, kehadiran Olivia memberi suasana berbeda. Ia berdiri di tengah pasir, membaca puisi bertema spiritualitas, budaya Tengger, serta pelestarian alam. Tak ada sorotan kamera yang ramai, tak ada tepuk tangan penonton. Namun momen itu tetap terasa khidmat, seolah seluruh tempat sedang mendengarkan.
Sesi gladi itu tak sekadar uji panggung. Ia menjadi bagian dari keseluruhan pesan yang ingin disampaikan Eksotika tahun ini: bahwa merawat budaya berarti juga merawat alam.
Untuk mendukung pesan tersebut, panitia juga menggagas gerakan simbolik bertajuk “Satu Orang Satu Pohon.” Setiap peserta, pengunjung, dan penampil diajak menanam pohon sebagai bentuk kontribusi nyata terhadap keberlanjutan kawasan Gunung Bromo
Meski belum dimulai secara resmi, gladi kotor hari itu menunjukkan arah dan ruh utama dari Eksotika Bromo 2025. Seni bukan sekadar tontonan. Ia menjadi sarana penyadaran, pengingat bahwa alam dan budaya tidak bisa dipisahkan.
Dengan tema besar “Ruwat Rawat Segoro Gunung,” seluruh rangkaian acara akan menyampaikan pesan yang sama, bahwa menjaga tanah, air, dan gunung adalah bentuk penghormatan tertinggi terhadap warisan leluhur.
Hari itu belum ada penonton ribuan. Belum ada riuh tepuk tangan. Tapi dari gladi kotor inilah pesan paling jujur mulai terdengar. Eksotika Bromo adalah panggilan untuk kembali berpijak pada tanah, pada budaya, dan pada alam yang selama ini kita tempati bersama.
“Bromo adalah candi hidup, Tempat sujud manusia gunung, Tempat hati bersandar dan jiwa menyatu,” kutip salah satu bait dari puisi yang dibacakan Olivia Zalianti. ***
Berita Terkait
Tag
Arsip
Berita Populer & Terbaru






































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































Polling Online
Tidak ada polling tersedia.