Eksotika Bromo 2025 (Seri 8): Fotografi, Seni, dan Rekaman Waktu

JURNAL PAPAR, Tuban – Eksotika Bromo, event yang mejadi medan berburu makna bagi para seniman dan fotografer dari berbagai penjuru negeri. Setiap gelaran, kawasan Probolinggo mendadak hidup, bukan hanya oleh denting gamelan atau gending yang menggema. tapi juga oleh jepretan kamera yang mencari cerita di tiap momen.

Jumat, 20 Juni 2025, pagi hari sebelum acara dimulai, para fotografer sudah berkumpul di Surabaya, di Gedung Cak Durasim, transit untuk menunggu jemputan berangkat ke Probolinggo.

Ada yang berburu foto, ada pula yang hanya duduk menunggu cahaya terbaik dari sudut gedung  Mereka tak hanya memotret lanskap, tapi merekam hidup.

Perjalanan kami dimulai dari Surabaya. Di Gedung Cak Durasim, tempat para pelaku seni kerap berkumpul, saya bertemu seseorang yang kelak memberi perspektif baru tentang memotret. Namanya Pak Fendi Siregar, seorang fotografer, pengajar, sekaligus seniman visual. Ia bukan nama baru di dunia ini; pernah berpameran tunggal di Jakarta, Bali, Kairo, hingga Singapura.

Pagi itu, ia datang bersama rombongan dari Jakarta. Saya yang penasaran langsung menghampiri. Ramah, terbuka, dan penuh cerita. Tak butuh waktu lama untuk terhanyut dalam obrolan dengan beliau.

"Fotografi itu bukan cuma menyimpan gambar," ucapnya pelan sambil menatap jauh, seolah sedang melihat sesuatu yang tak saya lihat. "Tapi memaknai. Menghayati. Foto itu rekaman waktu."

Kalimat itu menggantung di udara. Dan sejak detik itu, saya tahu, obrolan ini bukan sekadar tentang kamera atau teknis jepretan.

Menurut Pak Fendi, memotret bukan cuma soal ‘apa’ yang kita lihat, tapi ‘kapan’ kita merekamnya. Ada kesadaran waktu yang muncul di setiap foto.

"Kita kumpul di sini, bisa diulang besok? Tidak bisa. Kita selesai.

Hari ini, kita foto maestro, kita rekam tokoh. Bisa jadi lusa, mereka sudah tiada. Tapi yang kita rekam? Tetap bercerita sepanjang masa."

Baginya, fotografi adalah cara untuk menjaga kenangan tetap hidup. Dalam satu bingkai, kita menyimpan waktu yang tak bisa diulang. Dan karena itulah, katanya, fotografer harus peka, bukan hanya secara teknis, tapi juga secara batin.

Namun tantangan zaman juga tak kecil. Teknologi terus berubah, kamera makin canggih, algoritma makin menentukan apa yang ‘disukai’.

“Tantangan fotografi sekarang ya itu, kita harus mengikuti teknologi. Kalau tidak, ya tertinggal,” ujarnya.

Di satu sisi, ini membuka banyak kemungkinan. Tapi di sisi lain, ada kekhawatiran, makna fotografi bisa tergeser oleh kejaran likes dan impresi

“Sekarang di media sosial, tak ada kriteria fotografi yang terbaik. Yang ada cuma: like atau tidak like. Padahal fotografi itu lebih dalam dari sekadar suka atau tidak suka,” tegasnya.

Pak Fendi, yang mengajar di Institut Kesenian Jakarta, mengakui bahwa ia lebih tertarik pada art photography. Namun, ia juga menyadari bahwa karya semacam itu tidak selalu diterima luas

“Sulit memang. Sering dianggap ego sentris. Tapi itu bagian dari perjuangan seorang seniman. Kita harus memberikan penghayatan yang dalam terhadap karya kita,” katanya.

Obrolan kami ditutup dengan satu pesan yang terasa dalam, Fotografi bukan hanya tentang menangkap, tapi tentang menyampaikan. Bukan hanya tentang estetika, tapi tentang makna.

Di tengah hiruk pikuk dunia digital, kata-kata Pak Fendi menjadi pengingat. Bahwa di balik setiap jepretan, ada waktu yang diam-diam kita simpan. Dan mungkin, di situlah seni fotografi yang sesungguhnya, yaitumerekam yang tak bisa kembali, dan membiarkannya terus bicara, dalam diam. ***