Musda VI DKJT Rampung, Inilah 8 Agenda Strategis Kebudayaan Jawa Timur

16 June, 2025

JURNAL PAPAR, SURABAYA – Musyawarah Daerah (Musda) VI Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) resmi ditutup Minggu (16/6/2025) di Great Diponegoro Hotel, Surabaya. Namun yang terbangun dari forum empat hari ini bukan sekadar kesepakatan organisasi. Lebih jauh, Musda ini membentuk satu peta jalan baru: arsitektur politik kebudayaan daerah pasca lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Pemajuan Kebudayaan Jawa Timur.

Musda kali ini tak hanya mempersoalkan siapa yang duduk di kursi pimpinan. Yang lebih mendasar adalah bagaimana kesenian dan kebudayaan Jawa Timur ke depan tidak lagi menjadi urusan pinggiran, melainkan dirumuskan sebagai kekuatan struktural daerah dengan perangkat kelembagaan, strategi, dan anggaran yang terdesain secara sadar.

“Perda ini adalah titik balik. Tapi tanpa desain ekosistem kebudayaan yang partisipatif, dia akan tinggal di atas kertas,” ujar salah satu delegasi dari kawasan Bakorwil Madiun.

Dari Representasi ke Distribusi Kekuasaan Kultural

Musda VI melahirkan keputusan besar dalam struktur kelembagaan: mengganti model ketua tunggal dengan presidium kolektif tujuh orang. Struktur ini bukan semata kompromi politik antardaerah, tapi bentuk distribusi kekuasaan budaya agar DKJT benar-benar mencerminkan keragaman Jatim secara geografis, etnis, maupun ekspresi seni.

Tujuh tokoh terpilih berasal dari latar belakang wilayah dan disiplin yang berbeda. Dari Christman Hadi yang dikenal sebagai intelektual budaya Surabaya, hingga Imam Mubaroq yang aktif menggerakkan akar rumput kebudayaan di Kediri.

Mereka bertugas bukan sekadar memimpin organisasi, tapi menyusun ulang relasi kekuasaan antara pusat dan daerah dalam konteks kebudayaan.

Birokratisasi Baru atau Inovasi Tata Kelola?

Model baru DKJT juga menyentuh nomenklatur organisasi. Divisi yang dulu bersifat longgar kini diperjelas fungsinya melalui Komite (berbasis seni) dan Departemen (berbasis manajerial). Sebuah departemen baru bahkan dibentuk khusus untuk menjalankan mandat 10 Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK), sesuatu yang sebelumnya tidak terbayangkan dalam struktur Dewan Kesenian manapun di Indonesia.

Di satu sisi, ini bisa dibaca sebagai birokratisasi baru. Tapi di sisi lain, inilah upaya menjembatani seni dan kebijakan secara nyata sebuah langkah agar seniman tak lagi sekadar subjek program, tapi turut menyusun arah kebijakan publik.

Politik Anti-Diskriminasi: Dari Wacana ke Aksi

Forum juga mengafirmasi posisi DKJT sebagai lembaga yang berpihak pada inklusivitas. Dalam satu rekomendasi eksplisit, seluruh peserta menyepakati bahwa tidak boleh ada seniman atau kelompok budaya yang terpinggirkan karena identitas atau latar belakang.

Komitmen ini bukan basa-basi. DKJT akan membentuk satuan kerja khusus pendampingan ke daerah-daerah untuk memantau praktik inklusif di tingkat lokal. Artinya, DKJT tidak sekadar bekerja untuk seniman, tapi juga menjadi mediator budaya yang berpihak pada keadilan sosial.

Renstra DKJT: Rancang Bangun Lima Tahun ke Depan

Sebagai tindak lanjut dari forum, delapan program strategis ditetapkan sebagai fondasi Rencana Strategis DKJT 2025–2030. Dari penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Provinsi hingga pembentukan Pusat Informasi dan Dokumentasi Seni, seluruhnya dirancang untuk memperkuat posisi kebudayaan sebagai sektor prioritas pembangunan.

Tak hanya berbicara estetika, arah ini menunjukkan bahwa kebudayaan diposisikan dalam tiga dimensi: sosial, ekonomi, dan hukum. Bahkan bantuan hukum untuk seniman masuk dalam agenda prioritas.

Tantangan ke Depan: Sinkronisasi dengan Pemprov

Keberhasilan seluruh agenda ini akan sangat ditentukan oleh sejauh mana DKJT mampu bersinergi dengan Pemerintah Provinsi. Dalam hal ini, implementasi Perda Pemajuan Kebudayaan adalah medan uji paling konkret.

Apakah Pemprov bersedia memberikan dukungan anggaran yang layak? Apakah 10 OPK akan benar-benar dijalankan lintas sektor, bukan hanya oleh Dinas Kebudayaan?

Musda VI telah menyulut api. Namun tantangan terbesar justru ada di luar forum: di ruang rapat anggaran, di perencanaan pembangunan, di interaksi antarinstansi.

Seperti dikatakan salah satu presidium terpilih usai sidang penutupan:

“Kami tidak sedang membangun menara gading seni. Kami membangun jembatan agar budaya bukan milik segelintir, tapi jalan bagi semua orang.”


Komentar