
JURNAL PAPAR, Probolinggo – Lautan pasir di kaki Gunung Bromo bergemuruh. Bukan karena letusan atau suara alam, tapi karena riuh tepuk tangan, dentuman musik, dan gerak tari yang memadukan dua dunia, yakni dunia yang sudah ada sejak masa lalu, dan dunia yang hidup hari ini.
Tahun 2025, Eksotika Bromo kembali diadakan, dan di tahun ke-8 pada 21–22 Juni lalu, acara ini digelar di Lautan Pasir Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). dengan tema “Ruwat Rawat Segoro Gunung” terasa bukan sekadar tajuk, tapi narasi yang benar-benar dijalankan dalam bentuk yang hidup.
Gelaran ini bukan sekadar acara budaya tahunan. Ia sudah menjelma jadi ruang kolaborasi, tempat identitas dan kreasi saling menyapa.
Di tengah mendung tipis dan lanskap Bromo yang sakral, para seniman dari berbagai daerah hadir membawa sesuatu yang lebih dari pertunjukan, ia membawa warisan, dan membalutnya dengan ekspresi zaman.
Salah satu yang menonjol tahun ini datang dari Sanggar Sebiduk Sedayung, Jambi. Sanggar ini membawakan Tari Basale, yang asalnya merupakan ritual penyembuhan suku Anak Dalam.
Sebuah tradisi yang dulunya hanya berlangsung di tengah hutan, di lingkaran kecil komunitas adat, kini tampil di panggung terbuka di hadapan ratusan pasang mata.
Basale tidak cuma tarian. Ia adalah bagian dari proses pemulihan. Dalam konteks adat, Basale dilakukan ketika seseorang sakit, baik karena penyakit fisik maupun gangguan yang dipercaya berasal dari roh jahat. Upacara ini dipimpin oleh temenggung, dan menjadi bagian dari cara hidup masyarakat Suku Anak Dalam, suku yang tinggal di pedalaman Jambi dan Sumatera Selatan.
Namun, yang muncul di atas panggung Eksotika Bromo adalah wajah baru dari tradisi itu. Sanggar Sebiduk Sedayung mengolah Basale menjadi pertunjukan yang komunikatif.
"Ini sebenarnya tarian adat, cuma memang kita kembangkan dan kita upayakan agar bagaimana bisa diterima dengan budaya modern," ucap Puji Lestari, wanita 45 tahun yang juga pendamping dari sanggar ini.
Geraknya diolah, iramanya diracik ulang, menggabungkan unsur tari kontemporer dan musik modern. Tidak ada kesan sakral yang berlebihan, tapi juga tidak kehilangan napas adatnya. Ada semacam kehati-hatian dalam cara mereka memperkenalkan budaya ini ke khalayak yang lebih luas.
"Kalau dari musiknya sendiri kita tetap pertahankan unsur Melayu, unsur tradisional nya juga kita pertahankan, tapi disini kita juga menyatukan dengan musik musik modern," ucap Tito Pradana, penata musik sebiduk Sedayung.
Dan di sinilah letak kekuatan Eksotika Bromo. Bukan hanya menghadirkan tradisi sebagai tontonan, tapi juga sebagai ruang interpretasi. Tidak melulu harus sesuai pakem, tapi tetap berpijak pada nilai yang dibawa. Inovasi boleh masuk, selama tidak memutus hubungan dengan akar.
Panggung di lautan pasir itu menjadi semacam laboratorium budaya. Banyak penampil datang dengan semangat serupa, menjembatani masa lalu dan masa kini. Dari tata busana yang menggabungkan kain adat dengan potongan modern, hingga komposisi musik yang memadukan alat tradisional dengan efek digital. Ini bukan sekadar gaya, tapi bentuk baru dari upaya pelestarian.
Seringkali, ketika kita bicara tentang pelestarian budaya, yang dibayangkan adalah sesuatu yang beku. Harus dijaga persis seperti aslinya, tidak boleh berubah. Tapi kenyataannya, zaman terus bergerak. Budaya yang tidak menyesuaikan, akan kehilangan konteks dan kehilangan generasi penerusnya.
Eksotika Bromo seperti ingin menjawab persoalan itu. Ia tidak sekadar menyimpan tradisi dalam etalase museum budaya, tapi menempatkannya di atas panggung kontemporer, agar bisa dirasakan dan dimaknai oleh publik hari ini.
Dan penonton pun tampak menerima dengan baik. Anak muda merekam penampilan dengan ponsel, membagikannya di media sosial. Anak-anak menonton dengan takjub, tanpa merasa asing. Para orang tua menyimak dengan diam, mengenali unsur-unsur lama yang kini tampil dalam wujud baru.
Yang ditampilkan di Bromo bukan sekadar pertunjukan, tapi juga eksperimen sosial. Bahwa budaya bisa bertahan, bahkan berkembang, saat diberi ruang untuk beradaptasi. Saat diperbolehkan berubah, selama perubahan itu tidak menghilangkan esensinya.
Eksotika Bromo 2025 membuktikan satu hal penting: bahwa tradisi dan modernitas bukan dua kutub yang saling meniadakan. Keduanya bisa menyatu, bisa berdampingan, bahkan bisa saling menguatkan. Yang tradisional memberi akar. Yang modern memberi sayap. ***
Berita Terkait

Eksotika Bromo 2025 (Seri 7): Kolaborasi Seniman dan Masyarakat Tengger, Jadi Magnet Wisata Luar Biasa

Eksotika Bromo (Seri 6): Surga Fotografi, Keindahan di Pinggiran Jalan Menuju Mentigen Hill

Eksotika Bromo 2025 (SERI 4): Ketika Joko Seger dan Roro Anteng Menari di Panggung Bromo

Eksotika Bromo 2025 (Seri 3): Tempat Sujud Manusia Gunung yang Jadi Panggung Olivia Zalianti
Tag
Arsip
Berita Populer & Terbaru












































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































Polling Online
Tidak ada polling tersedia.