Tradisi Manganan di Sumurgung Tuban: Mengapa Warga Harus Bawa Ayam Panggang?

JURNAL PAPAR, Tuban - Masyarakat Desa Sumurgung, Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban, masih menjaga tradisi tahunan yang dikenal dengan nama Manganan. Tradisi ini sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen dan limpahan air dari sumber mata air yang hingga kini masih dimanfaatkan warga, terutama untuk kebutuhan pertanian dan rumah tangga.

Tradisi Manganan di Desa Sumurgung digelar setiap tahun setelah panen padi pertama, seperti digelar pada Kamis, 15 Mei 2025. 

"Jadi kalau panen mensyukuri panen yang airnya dari sini, jadi perayaan, syukuran di sini," ujar Marzuki, salah satu pejabat Pemdes Sumurgung.

Dulu, tradisi ini berlangsung tanpa jadwal tetap, dilakukan secara spontan oleh warga di berbagai lokasi sakral desa. Namun kini, kegiatan tersebut telah terstruktur dan berada di bawah pengawasan pemerintah desa. Ini bertujuan agar pelaksanaannya lebih teratur dan dapat dijaga kelestariannya.

"Kalau dulu kan belum ada jadwalnya, cuma sekarang sama pak kepala desa dibuat jadwal, biar ndak tabrakan sama manganan ditempat lain mas," cetus salah satu perangkat desa.

Manganan dijadwalkan setiap hari Senin dan Kamis, mulai 27 April hingga 14 Juli 2025, dengan sistem bergilir di 13 titik yang dianggap sakral oleh masyarakat. Lokasi-lokasi tersebut meliputi sumber mata air dan punden, antara lain Makam Keremate, Kali Sumber Manganan, Sumber Pancuran, Sumber Joblak, Sumber Belik, Sumur Kulon, Sumur Kidul, Sumur Mbulung, Gal Klapan, Bak Kopen, Sumur Mrungu, Sumur Nyai Lanten, dan Sumur Ki Bakrie.

Setiap titik memiliki nilai sejarah dan spiritual tersendiri, yang menjadi pengikat antara masyarakat, alam, dan nilai-nilai warisan leluhur.

Warga membawa makanan seperti nasi berkat, camilan, dan ayam panggang untuk disantap bersama. Ayam panggang biasanya dibawa oleh warga yang merasa nazarnya telah terkabul.

“Kalau panggang ayam itu istilahnya nadzar, misal punya hajat, terus kesampaian, bawa panggang ayam ke sini untuk dimakan bersama,” ujar Pak Musyafa’, perangkat Desa Sumurgung.

Kegiatan ini tidak menggunakan panggung hiburan, masyarakat datang untuk berdoa, berbagi makanan, dan menjaga nilai-nilai kebersamaan yang diwariskan turun-temurun.

Menurut Mbah Kasim, salah satu sesepuh desa yang ikut mengawasi pelaksanaan tradisi ini di Sumber Mbelik, kegiatan Manganan juga menjadi bentuk kepedulian terhadap kelestarian alam, terutama sumber mata air.

“Ini untuk masyarakat banyak, warga Sumurgung. Saya membina saja misalkan ada yang kurang atau apa-apa. Harapan saya, semoga mata airnya makmur, bisa dipakai masyarakat,” pungkas dia. ***