
PAPAR – Sejarawan senior Asvi Warman Adam mengingatkan Menteri Kebudayaan Fadli Zon bahwa penulisan ulang sejarah Indonesia seharusnya mengandung unsur kebaruan. Kritik itu ia lontarkan menanggapi proyek besar yang tengah digarap Kementerian Kebudayaan dalam menyusun sejarah resmi Indonesia, yang rencananya akan diluncurkan pada HUT ke-80 RI tahun depan.
“Salah satu ciri dari penulisan sejarah standar itu adalah adanya pembaruan, tulisan-tulisan mutakhir mengenai peristiwa tertentu,” kata Asvi saat dihubungi, Kamis, 8 Mei 2025.
Menurut Asvi, pernyataan Fadli bahwa Indonesia tidak dijajah selama 350 tahun bukanlah temuan baru. Isu itu telah diangkat lebih dari lima dekade lalu oleh sejarawan G. J. Resink lewat bukunya Bukan 350 Tahun Dijajah yang terbit pada 1968 dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia sejak lama. “Kalau hanya itu yang berubah, ya cukup cetak ulang buku Resink. Tidak perlu mengumpulkan seratus orang sejarawan,” ujar Asvi tajam.
Asvi juga menyoroti keputusan Kementerian Kebudayaan yang tidak akan merevisi narasi sejarah seputar tragedi 1965 dan pelanggaran HAM berat pada 1998. Baginya, itu adalah kekeliruan fatal dalam etika penulisan sejarah. “Mengabaikan peristiwa-peristiwa itu justru memperlihatkan keberpihakan sejarah pada penguasa, bukan pada kebenaran,” katanya.
Dalam pandangan Asvi, proyek penulisan ulang ini berisiko menjadi legitimasi politik semata. “Penulisan sejarah jangan jadi instrumen penguasa untuk menyusun narasi tunggal yang mengaburkan dosa masa lalu,” ucapnya.
Fadli Zon sebelumnya menyatakan bahwa tidak seluruh wilayah Indonesia mengalami penjajahan selama 350 tahun. Ia menyebut ada wilayah-wilayah yang tetap merdeka atau hanya dijajah dalam waktu singkat. “Fakta sejarah menunjukkan banyak daerah yang melawan, bahkan tidak pernah dijajah sama sekali,” ujarnya di Jakarta.
Menurut Fadli, penulisan ulang sejarah RI ini akan menonjolkan semangat perlawanan bangsa terhadap kolonialisme sebagai upaya menghapus mental inferior. Namun, hingga kini, proyek itu belum membuka ruang diskusi publik secara luas.
Hal inilah yang kemudian disorot oleh anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDIP, I Nyoman Parta. Ia meminta agar naskah akademik proyek penulisan ulang sejarah tersebut diuji publik lebih dulu. “Apalagi kalau menyangkut sejarah politik dan peran tokoh-tokoh penting bangsa. Harus jujur, objektif, dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah,” katanya.
Nyoman mengingatkan bahwa sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, tapi cermin moral bangsa. Tanpa keterlibatan publik, proyek sejarah ini berpotensi menjadi instrumen politik ketimbang sumber pengetahuan.
Proyek penulisan ulang sejarah RI ini menargetkan rampung pada 17 Agustus 2025. Salah satu narasi besar yang akan diangkat adalah penolakan terhadap klaim Indonesia dijajah selama 350 tahun, narasi yang sejatinya sudah lama dikoreksi dan bukan hal baru.
Tag
Tag
Arsip
Berita Populer & Terbaru












































































Polling Online
Tidak ada polling tersedia.